Evolusi Makna Pembangunan Beserta Indikator Keberhasilan dalam Pembangunan Ekonomi


1.1.Evolusi Makna Pembangunan
1.1.1        Evolusi Fokus Ekonomi Pembangunan
Selama dekade 1950-an hingga awal dekade 1960-an, terkait kebijakan pembangunan ditunjukkan, untuk maksimisasi pertumbuhan ekonomi melalui proses akumulasi modal dan industrialisasi. Oleh karena adanya pandangan yang tidak mempercayai mekanisme pasar dan pendapat tentang terjadinya kegagalan pasar (market failure), maka pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan antara lain menerapkan sistem perencanaan terpusat untuk meningkatkan investasi modal fiskal, pemanfaatan surplus tenaga kerja, pengembangan industri substitusi impor (ISI), dan mencari bantuan luar negeri. Strategi pembangunan saat itu ditekankan pada pembangunan ekonomi, khususnya pertumbuhan ekonomi, sementara pembangunan di bidang lainnya diarahkan untuk menunjang keberhasilan pembangunan ekonomi dan mengikuti irama pembangunan di bidang ini.
Pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua kutub strategi pembangunan yang sering kali terabaikan (trade off). Artinya, pembangunan yang menitikberatkan pada aspek pertumbuhan ekonomi cenderung akan mengorbankan aspek pemerataan, begitu juga sebaliknya. Namun, pada umumnya pilihan kebijakan jatuh pada kebijakan pemacuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan harapan pemerataan hasil pembangunan pada akhirnya akan diraih melalui mekanisme tetesan ke bawah (trickle down effect). Dalam arti proses pemerataan pendapatan akan terjadi secara otomatis setelah pertumbuhan ekonomi yang tinggi terjadi.
Memasuki dekade 1960-an akhir dan awal dekade 1970-an, pembangunan ekonomi mengalami redefinisi. Mulai muncul pandangan bahwa tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi bukan lagi menitikberatkan pada aspek pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi bagaimana mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan. Beberapa ekonom berpendapat bahwa pertumbuhan yang tercermin pada kenaikan angka-angka GNP tiap tahunnya belum mampu menjadi solusi atas masalah kemiskinan dan ketimpangan sehingga makna pembangunan kembali dipertanyakan.
Dalam kalangan para pemerhati masalah pembangunan, mereka telah mendorong munculnya gagasan-gagasan baru tentang strategi pembangunan yang lebih bermakna bagi semua. Bank Dunia memperkenalkan pendekatan pembangunan pertumbuhan dengan pemerataan (redistribution with growth) dan ILO (International Labor Organization) menawarkan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar sebagai solusi. Sedangkan literatur pembangunan lainnya ada yang menekankan perlunya pergeseran orientasi dari pembangunan industri menuju pembangunan perdesaan; pergeseran penekanan dari pembentukan modal fisik menuju pembentukan modal insani (human capital) sebagai modal utama pembangunan, dan pentingnya penerapan teknologi tepat guna (appropriate technology) bagi setiap negara. Namun, problematika pembangunan yang rumit serta kronis, dan adanya kait-mengait mengenai NSB tidak kunjung terselesaikan.
Perubahan yang paling mendasar pada fokus ekonomi pembangunan terjadi selama dekade 1970-an dan dekade 1980-an yang dikenal dengan istilah era ”kebangkitan ekonomi neoklasik”. Jika pada dekade 1950-an para ekonom pembangunan mencoba merumuskan teori yang dianggap bisa berlaku umum dan strategi-strategi yang bersifat umum di dalam upaya memecahkan permasalahan di NSB, pada dekade 1970-an dan 1980-an. Fokus kajian ekonomi pembangunan sudah lebih ditekankan pada analisis tentang keberagaman NSB dan pengidentifikasian faktor penyebab mengapa terjadi perbedaan tingkat kinerja ekonomi dari setiap negara. Analisis berubah dari model pertumbuhan yang sangat makro agregatif menuju ke model mikro yang disagregatif.
Studi mulai diarahkan pada kekhususan karakteristik suatu negara berdasarkan kondisi empirisnya dan penggunaan asumsi yang berbeda-beda ketika menganalisis masalah di setiap NSB. Oleh karena itu, perlu kehatian-hatian di dalam proses pengidentifikasian hubungan-hubungan kelembagaan. Dalam unsur-unsur misalnya penduduk, institusi, dan ketersediaan semangat kewirausahaan (entrepreneurship)  yang selama ini dianggap sebagai hal given menjadi variabel endogen yang penting di dalam analisis pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang multidimensional yang juga mencakup perubahan-perubahan yang mendasar di dalam struktur sosial, perilaku masyarakat, perbaikan sistem kelembagaan (institutional development), selain aspek-aspek ekonomi seperti kenaikan pendapatan per kapita, kemerataan distribusi pendapatan, dan pengentasan kemiskinan.

1.1.2        Pandangan Tradisional
Bermula pada upaya pembangunan Negara Sedang Berkembang (NSB) di tandai dengan adanya upaya meningkatkan pendapatan perkapita atau populer disebut strategi pertumbuhan ekonomi. Berawal pada banyaknya tanggapan yang membedakan antara negara maju dengan NSB adalah pendapatan rakyatnya. Dengan ditingkatkannya pendapatan per kapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan yang dihadapi NSB dapat terpecahkan. Indikator keberhasilan dilihat dari meningkatnya pendapatan nasional (GNP) per kapita riil, dalam arti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional dalam harga konstan (setelah dideflasi dengan indeks harga) harus lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan penduduk.
Todaro & Smith (2003) menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara ditunjukkan oleh tiga nilai pokok yaitu:
a.      berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (sustenance)
b.      meningkatnya rasa harga diri (selfesteem) masyarakat sebagai manusia
c.       meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia
Kecenderungan tersebut terlihat pada pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan, seperti teori Harrod Domar, Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman, Rosenstein Rodan, Nurkse, Leibenstein. Seperti judul buku karya monumental Arthur Lewis, pembangunan ekonomi dianggap merupakan kajian The Theory of Economic Growth. Ini mencerminkan munculnya teori pertumbuhan dan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama dari setiap kebijakan ekonomi di negara manapun.
Meskipun banyak varian pemikiran, pada dasarnya mereka sependapat bahwa kata kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh karena itu, strategi pembangunan yang dianggap paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi. Diundangnya modal asing nampaknya diilhami oleh kisah sukses Rencana Marshall dalam membantu pembangunan negara Eropa Barat dan Jepang. Sedang industrialisasi yang memusatkan perhatian pada sektor-sektor modern dan padat modal nampaknya tidak dapat dipisahkan dari pengalaman Inggris sebagai negara industri pertama.

1.1.3        Paradigma Baru Dalam Pembangunan
Pengembangan ekonomi diwujudkan dalam upaya meniadakan setidaknya mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan, yaitu:
1)      Strategi Pertumbuhan dengan Distribusi
Para proponen strategi “pertumbuhan dengan distribusi” atau “redistribusi dari pertumbuhan” pada hakekatnya menganjurkan NSB agar tidak hanya memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi atau memperbesar pembangunan namun juga mempertimbangkan bagaimana distribusi pembangunan tersebut.
2)      Strategi Kebutuhan Pokok
Ada yang berpendapat bahwa kebutuhan pokok mencakup kebutuhan minimum konsumsi seperti pangan, sandang, perumahan dan jasa umum terkait kesehatan, transportasi umum, air, dan fasilitias pendidikan. Sementara itu, pendekatan lain lebih mementingkan apa yang dapat membuat hidup ini lebih berharga.

3)      Strategi Pembangunan Mandiri
Strategi pembangunan mandiri agaknya berkaitan dengan strategi pertumbuhan dengan distribusi, namun strategi ini memiliki pola motivasi dan organisasi yang berbeda. Pada dekade 1970-an, strategi ini populer sebagai antitesis dari paradigma dependensia. Ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman India pada masa Mahaatma Gandhi, Tanzania di bawah Julius Nyerere, dan Cina di bawah Mao Zendong. Konsep Mao lebih menekankan pada usaha-usaha mandiri dengan sedikit atau tanpa integrasi dengan luar.  Di Cina, dikembangkan teknologi “pribumi” daripada mengimpor teknologi dari luar. Konsep “mandiri’ dibawa ke tingkat internasional oleh negara-negara non blok pada pertemuan di Lusaka tahun 1970, dan dielaborasi lebih lanjut pada konferensi non-blok di Georgetown tahun 1972. Dengan demikian konsep “mandiri” telah muncul sebagai konsep strategis dalam forum internasional sebelum konsep Tata Ekonomi Dunia Baru” (NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerjasama yang menarik dibanding menarik diri dari percaturan global. Perjuangan mengejar kemandirian pada tingkat lokal, nasional, atau regional, kadang kala bersifat revolusioner, di lain kasus kadang bersifat reaktif.
4)      Strategi Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan, atau sustainable development, muncul ketika isu mengenai lingkungan muncul pada dasa warsa 1970. Pesan utamanya adalah bahwa tata dunia baru atau lama tidak akan menguntungkan apabila sistem biologis alam yang menopang ekonomi dunia tidak diperhatikan. Sinyal pertama mengenai batas pertumbuhan adalah laporan dari Club of Rome pada tahun 1972. Dengan menggunakan ekstrapolasi ekonometrika dari data statistik, penulis buku The Limits to Growth menyimpulkan bahwa “bila tren pertumbuhan saat ini dalam penduduk dunia, industrialisasi, polusi, produksi makanan, dan deplesi sumberdaya terus tidak berubah, batas pertumbuhan atas planet ini akan dicapai dalam waktu kurang dari 100 tahun mendatang”.
5)      Strategi Berdimensi Etnik
Strategi ethnodevelopment, bermula muncul dari konflik antar etnis. Isu antar etnis (rasial, suku) berkembang di Afrika, dan semakin sering terjadi di Asia Selatan pada dasa warsa 1980-an. Ini sering terjadi terutama pada masyarakat di mana terdapat multietnis. Tidak ada  bahasa penjelas  yang sama untuk conflik antar etnis ini. Namun setidaknya konflik yang biasa muncul adalah konflik atas penguasaan sumber daya alam, konflik yang berkaitan dengan proyek infrastruktur (yang mempengaruhi ekosistem suatu daerah), konflik akibat ketimpangan pembangunan, konflik mengenai ide dasar strategi pembangunan nasional, konflik atas bagaimana pemerintah mendistribusikan sumberdaya.

1.1.4        Paradigma Pembangunan
Sejarah pemikiran mengenai pembangunan memang diwarnai dengan evolusi makna pembangunan. Dari pemujaan terhadap pertumbuhan, hingga paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (acodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment). Akhir-akhir ini mulai antri bebarapa paradigma lain, seperti wanita dalam pembangunan, pembangunan regional/spasial, dan pembangunan masyarakat.
Meskipun demikian, banyak yang memandang berbagai paradigma baru tentang pembangunan ini masih berada pada dataran normatif. Artinya kontribusinya mengenai pembangunan tidak berbicara dalam konteks aktual namun lebih membahas apa yang seharusnya dilakukan. Atau alternatifnya, kita mau tidak mau harus mengkombinasikan berbagai paradigma tersebut dalam formulasi maupun implementasi kebijakan. Nampaknya tidak salah apabila disimpulkan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai proses yang multidimensi, yang mencakup tidak hanya pembangunan ekonomi namun juga mencakup perubahan-perubahan utama dalam struktur sosial, perilaku dan kelembagaan.


1.2         Indikator Pembangunan
Indikator Pembangunan merupakan tolak ukur yang digunakan dalam mengukur performa suatu negara dalam pencapaian pembangunannya, serta perbandingan terhadap negara-negara lain. Serta suatu proses di mana pendapatan per kapita suatu negara meningkat dalam kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan absolut tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang.
Indikator Pembangunan ini dapat digunakan sebagai berikut:
a.       Memberikan alternatif ukuran kinerja pembangunan
b.      Mengukur kemajuan pembangunan dari berbagai dimensi (ekonomi, sosial, infrastruktur dan pelayanan publik, lingkungan dan Komunikasi serta Teknologi Informasi)
c.       Membandingkan kinerja pembangunan antar wilayah dari berbagai negara

1.2.1        Pendapatan Perkapita
Pendapatan perkapita baik dalam ukuran GNP maupun PDB merupakan salah satu indikator makro-ekonomi yang telah lama digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif makroekonomi, indikator ini merupakan bagian kesejahteraan manusia yang dapat diukur, sehingga dapat menggambarkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tampaknya pendapatan per kapita telah menjadi indikator makroekonomi yang tidak bisa diabaikan, walaupun memiliki beberapa kelemahan. Sehingga pertumbuhan pendapatan nasional, selama ini, telah dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Seolah-olah ada asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara otomatis ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan ekonomi). Walaupun demikian, beberapa ahli menganggap penggunaan indikator ini mengabaikan pola distribusi pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur distribusi pendapatan dan pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan akses terhadap sumber daya ekonomi.
Terdapat kelemahan pada pendapatan per kapita ini ialah:
a.       Faktor-faktor lain di luar tingkat pendapatan yang sangat  berpengaruh kepada tingkat kesejahteraan mereka
b.         Kesejahteraan masyarakat itu merupakan suatu hal yang bersifat   subjektif, artinya yaitu tiap orang mempunyai pandangan hidup, tujuan hidup, dan cara-cara hidup yang berbeda
c.         Kelemahan metodologis yang timbul karena perbandingan dengan cara demikian mengabaikan adanya perbedaan-perbedaan antara negar dalam hal-hal sebagai berikut: struktur umum penduduk, distribusi pendapatan nasioanl, metode perhitungan pendapatan, dan perbedaan nilai mata uang (kurs)
Pendapatan per kapita selain bisa memberikan gambaran tentang laju pertumbuhan kesejahteraan masyarakat di berbagai negara. Dimensi standar hidup layak dicerminkan oleh indikator pengeluaran per kapita yang disesuaikan. Pengeluaran per kapita yang disesuaikan di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selama 2010 hingga 2016, pengeluaran per kapita Indonesia meningkat sebesar Rp982.788,00 atau tumbuh 1,74 persen per tahun. Jika pada tahun 2010 pengeluaran per kapita penduduk hanya sekitar 9,4 juta rupiah per tahun, maka pada tahun 2016 sudah mencapai 10,42 juta rupiah per tahun.

Adapun peringkat pendapatan perkapita beberapa negara ASEAN berdasarkan data tahun 2016. Peringkat diurutkan dari GDP perkapita tertinggi sampai terendah:
Sedangkan peringkat pendapatan perkapita beberapa negara ASEAN berdasarkan Paritas Daya Beli (PPP) tahun 2016 adalah sebagai berikut:
Berdasarkan tabel diatas, bisa disimpulkan bahwa negara Indonesia sebagai negara yang paling luas dan paling tinggi populasinya menduduki peringkat ke-8 kemakmuran di ASEAN atau kawasan Asia Tenggara. Sehingga dengan demikian, bisa diketahui bahwa untuk negara yang seluas dan sepadat tersebut sudah cukup membanggakan jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

1.2.2        Indikator Sosial
Beckerman membedakan berbagai penelitian tentang cara-cara untuk membandingkan tingkat kesejahteraan ke dalam 3 kelompok:
1.        Usaha membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat di dua atau beberapa negara dengan memperbaiki cara-cara yang dilaksanakan dalam perhitungan pendapatan nasioanal biasa
2.        Membuat penyesuaian dalam pendapatan masyarakat yang dibandingkan dengan mempertimbangkan perbedaan tingkat harga di setiap negara
3.        Usaha untuk membuat perbandingan tingkat kesejahteraan dari setiap negara berdasarkan pada data yang tidak bersifat moneter (non-monetary indicators) seperti jumlah kendaraan bermotor, konsumsi minyak, jumlah penduduk yang bersekolah, dan sebagainya.
Sedangkan usaha lain dalam menentukan dan membandingkan tingkat kesejahteraan antar negara dilakukan pula oleh United Nations Research Institute for Social Development (UNRISD), sebuah badan PBB yang berpusat di Jenewa pada tahun 1970.
Dalam studinya, UNSRID (1970) menggunakan 18 indikator yang terdiri dari 10 indikator ekonomi dan 8 indikator sosial yaitu:Tingkat harapan hidup
1)        Konsumsi protein hewani per kapita.
2)        Persentase anak-anak yang belajar di sekolah dasar dan menengah.
3)        Persentase anak-anak yang belajar di sekolah kejuruan.
4)        Jumlah surat kabar.
5)        Jumlah telepon.
6)        Jumlah radio.
7)        Jumlah penduduk di kota-kota yang mempunyai 20.000 penduduk atau lebih.
8)        Persentase laki-laki dewasa di sektor pertanian.
9)        Persentase tenaga kerja (dari keseluruhan tenaga kerja yang mempunyai pekerjaan) yang bekerja di sektor listrik, gas, air kesehatan, pengangkutan, pergudangan, dan komunikasi
10)    Persentase tenaga kerja (dari keseluruhan tenga kerja yang mempunyai pekerjaan) yang memperoleh gaji.
11)    Persentase Produk Domestik Bruto (PDB) yang berasal dari industri-industri pengolahan (manufacturing).
12)     Konsumsi energi per kapita.
13)    Konsumsi listrik per kapita.
14)    Konsumsi baja per kapita.
15)    Nilai per kapita perdagangan luar negeri.
16)    Produk pertanian rata-rata dari pekerja laki-laki di sektor pertanian.
17)    Pendapatan per kapita Produk Nasional Bruto (PNB).
Jika indeks pembangunan yang diusulkan UNRISD tersebut digunakan sebagai indikator kesejahteraan maka dapat dipastikan perbedaan tingkat pembangunan antara negara-negara maju dan NSB tidaklah terlampau besar seperti yang digambarkan oleh tingkat pendapatan per kapita mereka.

1.2.3        Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indices)
Sejak tahun 1990, United Nations for Development Program (UNDP) mengembangkan sebuah indeks kinerja pembangunan yang kini dikenal sebagai Indeks Pembangunan Manusia atau IPM (Human Development Index). Nilai IPM ini diukur berdasarkan tiga indikator sebagai acuannya yaitu tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf, dan pendapatan riil per kapita berdasarkan paritas daya beli.
Sama seperti IKH, IPM ini juga digunakan untuk melakukan pemeringkatan terhadap kinerja pembangunan berbagai negara di dunia. Berdasarkan indeks IPM-nya, negara-negara di dunia ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
a.         Kelompok negara dengan tingkat pembangunan manusia yang rendah (low human development), bila memiliki nilai IPM antara 0 sampai 0,50.
b.         Kelompok negara dengan tingkat pembangunan manusia menengah (medium human development), bila memiliki nilai IPM antara 0,50 sampai 0,79.
c.         Kelompok negara dengan tingkat pembangunan manusia yang tinggi (high human development), bila memiliki nilai IPM antara 0,79 sampai 1.
Selain pertumbuhan, status pembangunan manusia merupakan cara lain untuk melihat perkembangan pembangunan manusia. Berubahnya status pembangunan manusia dapat dijadikan indikator dalam membaca perkembangan pembangunan manusia. BPS mengelompokkan status pembangunan manusia bedasarkan IPM menjadi 4 kelompok dengan kriteria sebagai berikut:
a.       Sangat Tinggi : IPM = 80.
b.      Tinggi : 70 = IPM < 80.
c.       Sedang : 60 = IPM < 70.
d.      Rendah : IPM < 60.
Sejak metode baru diperkenalkan, BPS sudah melakukan penghitungan IPM Indonesia sampai tahun 2016. Tercatat pembangunan manusia di Indonesia telah memperlihatkan perkembangan yang positif dari tahun ke tahun.
Dalam Human Development Report (HDR) 2016, UNDP mencatat IPM 2015 di Indonesia mencapai 68,9 dan masih berstatus pembangunan manusia “sedang” Sedangkan pada tahun 2016, status pembangunan manusia Indonesia telah berstatus tinggi. Perubahan status ini merupakan akumulasi capaian tahun-tahun sebelumnya. Butuh waktu dan upaya yang cukup keras untuk meningkatkan status pembangunan manusia. Capaian ini menempatkan Indonesia pada peringkat 113 diantara 188 negara di dunia. Sementara itu, di ASEAN Indonesia berada pada posisi ke-5 setelah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Bersama dengan Vietnam dan Filipina, level pembangunan manusia Indonesia dan kedua negara itu tidak jauh berbeda.
Badan Pusat Statistik mencatat IPM pada tahun 2016, IPM di Indonesia sudah mencapai 70,18, meningkat 0,63 poin dibanding tahun sebelumnya. Capaian pada tahun 2016 menempatkan Indonesia pada status pembangunan manusia “tinggi”. Hal ini berarti IPM di Indonesia tumbuh 0,91 persen pada periode 2015-2016. Dalam kurun waktu lima tahun, telah terjadi kenaikan IPM hingga 3,65 poin. Perkembangan ini menunjukkan semakin membaiknya pembangunan manusia secara umum di Indonesia.

1.        Pembangunan Manusia di Tingkat Provinsi
Capaian pembangunan manusia pada tingkat regional cukup bervariasi. IPM tertinggi di Indonesia dicapai oleh Provinsi DKI Jakarta dengan IPM sebesar 79,60, sedangkan capaian terendah adalah Provinsi Papua dengan IPM sebesar 58,05. Empat provinsi tercatat telah memasuki status pembangunan manusia “tinggi” pada tahun 2016, yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Banten.
Dengan demikian, terdapat dua belas provinsi yang telah menyandang status pembangunan manusia “tinggi”. Sementara itu, sebagian besar provinsi di Indonesia masih berstatus “sedang”  dan hanya tersisa satu provinsi yang masih berada pada level “rendah”, yaitu Provinsi Papua.
2.        Pembangunan Manusia di Tingkat Kabupaten/Kota
Dalam Lampiran II, terdapat pembangunan manusia dalam tingkat kabupaten/kota, capaian tertinggi berada di Kota Yogyakarta dengan IPM sebesar 85,32 sementara capaian terendah berada di Kabupaten Nduga dengan IPM hanya sebesar 26,56. Berbeda dengan status pembangunan manusia di tingkat provinsi, terdapat kabupaten/kota yang sudah berada pada kategori pembangunan manusia “sangat tinggi” pada tahun 2016. Tercatat sebanyak 19 kabupaten/kota telah mencapai status “sangat tinggi”. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumya yang hanya 12 kabupaten/kota saja. Sebagian besar dari kabupaten/kota yang berstatus “sangat tinggi” pada umumnya berada di Pulau Jawa. Selain kabupaten/kota dengan status pembangunan manusia berkategori “sangat tinggi”, terdapat 28,21 persen kabupaten/kota yang sudah mencapai kategori “tinggi” dan 60,70 persen kabupaten/kota sudah berada pada status “sedang”. Namun, masih ditemukan 7,39 persen kabupaten/kota yang bertahan pada kategori “rendah”.

1.2.4        Contoh Kasus Beserta Analisis
JAKARTA – Eksklusi perempuan, etnis minoritas, dan orang-orang yang tinggal di daerah terpencil menghambat kemajuan pembangunan manusia. Hal ini telah menyebabkan kesenjangan yang signifikan dan menyebabkan banyak ketertinggalan di dunia, termasuk di Indonesia dan kawasan Asia dan Pasifik. Selain itu, kelompok yang termarjinalisasi sering memiliki kesempatan terbatas untuk mempengaruhi lembaga dan kebijakan yang menentukan hidup mereka.
Menurut United Nations Development Programme (UNDP) hal tersebut adalah salah satu temuan kunci Laporan Pembangunan Manusia 2016 yang berjudul 'Pembangunan Manusia untuk Semua'. Laporan tersebut mengadvokasikan fokus yang lebih besar pada kelompok tereksklusikan, dan tindakan untuk mengatasi hambatan inklusi sangat diperlukan untuk memastikan pembangunan manusia berkelanjutan untuk semua orang.
Dalam analisisnya, laporan tersebut menunjukkan bahwa kemajuan belum memberi manfaat bagi semua orang dan kesenjangan berdampak pada kelompok tertentu secara tidak proporsional. Terutama perempuan, etnis minoritas dan orang-orang yang tinggal di daerah terpencil dapat mengalami deprivasi secara terbuka dan tersembunyi. Di Indonesia, meskipun terjadi penurunan kemiskinan secara tajam dalam dua dekade terakhir, 140 juta warga masih hidup dengan kurang dari Rp. 20.000 per hari.
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) untuk 2015 adalah 0.689. Ini menempatkan Indonesia dalam kategori pembangunan manusia menengah, dan peringkat 113 dari 188 negara dan wilayah. Nilai IPM meningkat 30,5 persen dari nilai pada tahun 1990. Hal ini mencerminkan kemajuan yang telah dicapai Indonesia dalam hal harapan hidup saat lahir, rata-rata tahun bersekolah, harapan lama bersekolah dan pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita selama periode tersebut.
Namun demikian IPM Indonesia menurun tajam ke 0,563 (turun 18,2 persen) bila kesenjangan diperhitungkan. Kesenjangan pendidikan dan harapan hidup saat lahir di Indonesia lebih tinggi dari rata-rata di Asia Timur dan Pasifik, namun Indonesia lebih baik dalam hal kesenjangan pendapatan dan gender dibandingkan dengan rata-rata di kawasan ini.
Kesetaraan gender adalah pendorong utama pembangunan berkelanjutan. Pada tahun 2014, data yang terpilah menurut jenis kelamin diperkenalkan ke dalam IPM, yang memungkinkan UNDP untuk menghitung dan membandingkan IPM untuk laki-laki dan IPM untuk perempuan. Namun sayangnya di sebagian besar negara di dunia, laki-laki dan perempuan tidak menikmati tingkat pembangunan manusia yang sama. Di Indonesia, Indeks untuk laki-laki adalah  0,712. Sedangkan untuk perempuan Indonesia hanya mencapai 0,66.
INS-IMG_1953
Pada peluncuran laporan itu hari ini, Country Director UNDP Indonesia Christophe Bahuet mempresentasikan  temuan dengan fokus pada Indonesia. "IPM untuk Indonesia menunjukkan bahwa setelah begitu banyak kemajuan yang dicapai, langkah selanjutnya menuju pembangunan manusia yang tinggi adalah inklusi dan pengurangan kesenjangan, khususnya untuk provinsi terpencil dan antara laki-laki dan perempuan," katanya.
Agar negara-negara mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan tidak ada seorangpun yang tertinggal, laporan ini menyerukan perhatian yang lebih besar untuk memberdayakan yang paling termarjinalisasi dalam masyarakat dan mengakui pentingnya memberi mereka suara yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan. Perubahan tersebut penting untuk memutus siklus eksklusi dan deprivasi. Laporan Pembangunan Manusia 2016 juga menyerukan pergeseran ke arah penilaian kemajuan dalam bidang-bidang seperti partisipasi dan otonomi.
Menurut Helen Clark selaku administrator UNDP, berpendapat bahwa dengan menghilangkan norma-norma sosial dan hukum yang diskriminatif, dan mengatasi akses yang tidak setara terhadap partisipasi politik yang telah menghambat kemajuan begitu banyak orang, kemiskinan bisa diberantas dan pembangunan yang damai, adil dan berkelanjutan dapat dicapai untuk semua orang.

KESIMPULAN DAN SARAN
Pembangunan merupakan suatu proses yang terus menerus dilaksanakan melalui suatu perencanaan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dalam segala aspek. Salah satu aspek yang amat penting dalam pembangunan tersebut adalah pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi itu pada dasarnya meliputi usaha masyarakat keseluruhan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan mempertinggi tingkat kesejahteraan masyarakat. Karena pembangunan juga merupakan cerminan dari adanya perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan untuk bergerak maju pada suatu kondisi kehidupan yang lebih baik, maka indikator-indikator pembangunan juga diperlukan.
Indikator pembangunan tepat diperlukan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan ekonomi suatu negara. Manfaat utama dari indikator pembangunan yaitu untuk memperbandingkan tingkat kemajuan pembangunan atau tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah atau negara dan mengetahui corak pembangunan setiap negara atau wilayah. Pendapatan per kapita merupakan indikator yang paling sering digunakan sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk suatu negara. Kelebihan utama dari pendekatan ini adalah karena  pendekatan ini difokuskan dari pembangunan, yaitu meningkatnya standar dan kualitas hidup masyarakat serta berkurangnya angka kemiskinan.
Selain pendapatan perkapita, indikator pembangunan juga bisa dilihat dari indikator sosial dan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indices). Dimana Indeks Pembangunan Manusia ini juga digunakan untuk melakukan pemeringkatan terhadap kinerja pembangunan berbagai negara di dunia, dan penilaiannya diukur berdasarkan tiga indikator yaitu tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf, dan pendapatan riil per kapita berdasarkan paritas daya beli.
Untuk mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara, diperlukan adanya campur tangan pemerintah untuk mengelola dan memanfaatkan dengan baik sumber daya alam, sumber daya modal, serta keahlian atau kewirausahaan dan adanya tekonologi yang dimiliki oleh negara tersebut. Selain itu, sumber daya manusia juga sangat diperlukan, dengan adanya SDM yang memadai maka bisa mendorong keberhasilan pembangunan ekonomi melalui jumlah dan kualitas penduduk suatu negara.

REFERENSI

Badan Pusat Statistik. Indeks Pembangunan Manusia 2016
Todaro, Michael, P dan Smith, Stephen, C. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan. Erlangga: Jakarta
Arsyad, Lincolin. (2010). Ekonomi Pembangunan. Edisi Kelima, Yogyakarta: STIM YKPN.
Pasaribu, Rowland Bismark. 2012. Bahan Ajar Ekonomi Pembangunan. Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma Depok.
World Bank
Kuncoro, Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta
UNDP Indonesia. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Meningkat tapi Kesenjangan Masih Tetap Ada. Diakses Pada 22 Maret 2017
Link Kasus:


LAMPIRAN I
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI TINGKAT
KABUPATEN/KOTA









Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAIDAH NAHI (LARANGAN)

Kaidah Mujmal dan Kaidah Mubayyan

Corak dan Perkembangan Perekonomian Indonesia Ditinjau dari Perspektif Sejarah (Massa Pra-Kolonialisme Hingga Sekarang)