KAIDAH NAHI (LARANGAN)
KAIDAH LARANGAN (NAHI)
1.
PENGERTIAN LARANGAN
Mayoritas
ulama Ushul Fiqh mendefinisikan nahi sebagai suatu larangan untuk
melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal
itu.
Dalam
melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Bik, Allah
juga memakai berbagai ragam gaya bahasa. Diantaranya adalah:
a.
Larangan
secara tegas dengan memakai kata naha (نهى)
atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Contoh: Surat
an-Nahl:90
b.
Larangan
dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Misalnya: Surat al-A’raf
ayat 33.
c.
Larangan
dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan. Misalnya: Surat
an-Nisa ayat 19.
d.
Larangan
dengan menggunakan kata kerja mudhari’ (kata kerja untuk
sekarang/mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan.
Misalnya: Surat al-An’am ayat152.
e.
Larangan
dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan.
Misalnya: Surat al-An’am ayat 120.
f.
Larangan
dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih. Misalnya: Surat at-Taubah
ayat 34.
g.
Larangan
dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan. Misalnya: Surat Ali Imran ayat
180.
h.
Larangan
dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri seperti dalam Surat
al-Baqarah ayat 193.
2.
BENTUK-BENTUK LAFADZ NAHI (LARANGAN)
Ungkapan
yang menunjukkan kepada lafadz Nahi itu ada beberapa bentuk, yaitu:
a.
Fi’il Mudhari’ yang
disertai dengan La Nahiyah, seperti:
لاتفسدوا
في الارض
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumu.” (Q.S. al-Baqarah:11)
b.
Lafadz-lafadz yang memberikan pengertian haram atau perintah untuk
meninggalkan suatu perbuatan,
seperti:
واحل
الله البيع وحرم الربا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. al-Baqarah:285)
3.
BEBERAPA KEMUNGKINAN HUKUM YANG DITUNJUKKAN BENTUK NAHI
Seperti yang
dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya mungkin
menunjukkan berbagai pengertian, diantaranya yaitu:
a.
Untuk
menunjukkan hukum haram, misalnya Surat al-Baqarah ayat 221.
b.
Sebagai
anjuran untuk meninggalkan, misalnya Surat al-Maidah ayat 101.
c.
Sebagai
penghinaan, seperti Surat al-Tahrim ayat 7.
d.
Untuk
menyatakan permohonan, misalnya Surat al-Baqarah ayat 286.
4.
KAIDAH-KAIDAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN NAHI (LARANGAN)
Para
ulama Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Muhammad Adib Shalih, merumuskan beberapa
kaidah yang berhubungan dengan larangan, diantaranya yaitu:
a.
Kaidah Pertama
Pada dasarnya suatu larangan
menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang itu kecuali ada
indikasi yang menunjukkan hukum lain. Contohnya, pada ayat 151 Surat al-An’am
yang artinya:
“....dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan suatu (sebab) yang benar...” (Q.S. al-An’am:151)
Dan contoh larangan yang disertai indikasi
yang menunjukkan hukum selain haram yaitu terdapat pada Surat Jumu’ah ayat 9
yang artinya:
“Hai orangorang yang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(Q.S. al-Jumu’ah:9)
Larangan berjual beli dalam ayat
tersebut menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh menunjukkan hukum makruh karena ada
indikasi, yaitu bahwa larangan tersebut bukan ditujukan pada esensi jual beli
itu sendiri, tetapi kepada hal-hal yang diluar zatnya, yaitu adanya
kekhawatiran akan melalaikan seseorang dari bersegera pergi shalat Jumat. Oleh
karena itu, orang yang tidak wajib shalat Jumat seperti wanita tidak dilarang
melakukan jual beli.
b.
Kaidah Kedua
Suatu larangan menunjukkan fasad
(rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Seperti dikemukakan oleh
Muhammad Adib Saleh, kaidah tersebut disepakati oleh para ulama Ushul Fiqh
bilamana larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan
terhadap hal-hal yang terletak di luar esensi perbuatan itu.
Contoh larangan terhadap suatu zat
ialah larangan berzina, larangan menjual bangkai, dan dalam masalah ibadah
seperti larangan sholat dalam keadaan berhadas, baik kecil maupun besar.
Larangan-larangan dalam hal-hal tersebut menunjukkan batalnya
perbuatan-perbuatan tersebut bilamana tetap dilakukan. Ulama berbeda pendapat
bilamana larangan itu tidak tertuju pada esensi suatu perbuatan, tetapi pada
hal-hal yang berada diluarnya. Misalnya, jual beli waktu adzan Jumat dan
larangan menyetubuhi istri yang sedang haid
c.
Kaidah Ketiga
Suatu larangan
terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya. Contoh:
terdapat pada Surat Luqman ayat 18 yang artinya:
“...dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh...” (Q.S. Luqman:18)
Larangan
tersebut mengajarkan agar berjalan dipermukaan bumi dengan rendah hati dan
sopan.
Mantapp
BalasHapus🙏
BalasHapus