PERBANDINGAN KEBIJAKAN FISKAL MASA RASULULLAH SAW HINGGA MASA SETELAH RASULULLAH SAW
1. Kebijakan Fiskal Masa Rasulullah SAW
Kebijakan fiskal negara pada
dasarnya dapat dilihat melalui variabel anggaran negara. Dari variabel ini
terlihat bagaimana negara mengatur arus dana yang ada dalam pemerintahan dalam
rangka menjalankan fungsinya, yaitu melaksanakan program-program pembangunan,
baik yang bersifat abstrak seperti pembangunan moral, maupun yang bersifat
fisik atau materi seperti pembangunan ekonomi (Ikhwan,2007; Suryadi,2013).
Kebijakan Fiskal pada masa Rasulullah diawali dari peletakan dasar-dasar
kehidupan masyarakat, selanjutnya melakukan pembangunan sistem ekonomi dan
melakukakan kebijakan fiskal.
Sistem fiskal yang ada pada
masa Rasulullah dapat dilihat dari Baitul Mal yang dibangun pertama kali.
Baitul Mal yaitu sebuah lembaga sebagai tempat penyimpanan harta yang masuk dan
pengelolaan harta yang keluar. Pada masa Rasulullah ketika baitul mal
mendapatkan pemasukan beliau langsung mengeluarkannya pada hari itu juga, oleh
karena itu tidak pernah ada harta yang tersisa yang memerlukan tempat
penyimpanan dan arsip tertentu. Pada masa Rasulullah Baitul Mal belum memiliki
pembagian-pembagian tertentu, walaupun pada saat itu beliau mengangkat Muaiqib
bin Abi Fatimah sebagai penulis harta ghanimah. az-Zubair bin al-Awwam sebagai
penulis harta zakat, Hudzaifah bin al-Yaman sebagai penulis harga hasil
pertanian daerah Hijaz, Abdullah bin Rawahah sebagai penulis harga hasil
pertanian daerah Khaibar, al-Mughirah bin Syu'bah sebagai penulis hutang
piutang dan aktivitas muamalah yang dilakukan oleh negara, serta Abdullah bin
Arqam sebagai penulis urusan masyarakat yang berkenaan dengan kepentingan
kabilah-kabilah termasuk kondisi pengairannya. Namun demikian, saat itu belum
terbentuk bagian-bagian baitul mal dan juga belum adanya tempat tertentu yang
dikhususkan untuk penyimpanan arsip maupun ruangan bagi para penulis.
Adapun pendapatan Baitul Mal yang menjadi sumber pendapatan negara pada masa pemerintahan Rasulullah saw terdri dari beberapa sumber seperti ghanimah, zakat, ushr, khums, jizyah, fai, harta waris yang tidak ada ahli warisnya dan lain-lain. Tetapi pendapatan utama pada masa Rasulullah saw adalah dari zakat dan ushr.
Adapun pendapatan Baitul Mal yang menjadi sumber pendapatan negara pada masa pemerintahan Rasulullah saw terdri dari beberapa sumber seperti ghanimah, zakat, ushr, khums, jizyah, fai, harta waris yang tidak ada ahli warisnya dan lain-lain. Tetapi pendapatan utama pada masa Rasulullah saw adalah dari zakat dan ushr.
Sumber-sumber
pendapatan Negara pada masa Rasulullah SAW:
No
|
Dari kaum muslimin
|
Dari non muslim
|
Umum
|
1
|
Zakat
|
Jizyah
|
Ghanimah
|
2
|
‘ush (5-10%)
|
Kharaj
|
Fay
|
3
|
‘Ush (2,5%)
|
‘usr (5%)
|
Uang Tebusan
|
4
|
Zakat Fitrah
|
Pinjam dari kaum Muslimin dan non
Muslim
|
|
5
|
Wakaf
|
||
6
|
Amwal Fadail
|
||
7
|
Nawaib
|
Hadiahdari pemerintah Negara lain
|
a.
Anfal,
Ghanimah, Fai, dan Khums
Anfal dan ghanimah merupakan segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan di medan perang, hart tersebut bisa berupa uang, senjata barang-barang dagangan, bahan pangan, dan lain-lain. Sedangkan Fai adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari harta orang kafir dengan tanpa peperangan. Khums adalah seperlima bagian yang diambil dari ghanimah dimana untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim dan orang miskin.
Anfal dan ghanimah merupakan segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan di medan perang, hart tersebut bisa berupa uang, senjata barang-barang dagangan, bahan pangan, dan lain-lain. Sedangkan Fai adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari harta orang kafir dengan tanpa peperangan. Khums adalah seperlima bagian yang diambil dari ghanimah dimana untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim dan orang miskin.
b.
Kharaj
Kharaj
adalah pajak tanah.
c.
Jizyah
Adalah hak
yang Allah berikan kepada kaum muslim dari orang-orang kafir sebagai tanda
tunduknya mereka pada islam, apabila orang-rang kafir itu telah membayar jizyah
maka wajib hukumnya bagi kaum muslim melindungi jiwa dan harta mereka.
d.
Usyur
Merupakan
hak kaum muslim yang diambil dari harta serta perdagangan ahlu dzimmah dan
penduduk darul harbi yang melewati perbatasan negara khilafah.
2. Kebijakan Fiskal Masa Setelah Rasulullah
SAW
2.1 Khalifah Abu Bakar
Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung
selama dua tahun, Abu Bakar lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan dalam
negeri, dimana saat itu harus berhadapan dengan kelompok murtad, pembangkang
zakat, dan nabi palsu.
Dalam usahanya meniungkatkan kesejahteraan
umat Islam, Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq melaksanakan berbagai kebijakan
ekonomi seperti yang telah dipraktikkan Rasulullah Saw. ia sangat memperhatikan
keakuratan perhitungan zakat, sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan
pembayarannya. Dalam hal ini, Abu Bakar pernah berkata kepada Anas, “Jika
seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar zakat berupa seekor unta betina
berumur 1 tahun tetapi dia tidak mempunyainya lalu menawarkan seekor unta
betina berumur 2 tahun, maka hal yang demikian dapat diterima dan petugas zakat
akan mengembalikan kepada orang tersebut sebanyak 20 dirham atau 2 ekor domba
sebagai kelebihan dari pembayaran zakatnya.” Dalam kesempatan yang lain, Abu
Bakar juga pernah berkata kepada Anas, “Kekayaan orang yang berbeda tidak dapat
digabung atau kekayaan yang telah digabung tidak dapat dipisahkan (karena
dikhawatirkan akan terjadi kelebihan atau kekuranagan pembayaran zakat). Hasil pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagi
pendapatan Negara dan disimpan dalam Baitul Mal untuk langsung didistribusikan
seluruhnya kepada kaum Muslimin hingga tidak ada yang tersisa.
Seperti
halnya Rasulullah Saw., Abu Bakar juga melaksanakan kebijakan pembagian tanah
hasil taklukan, sebagian diberikan kepada kaum Muslimin dan sebagian yang lain
tetap menjadi tanggungan Negara. Di samping itu, ia juga mengambil alih
tanah-tanah dari orang-orang yang murtad untuk kemudian dimanfaatkan demi
kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Abu Bakar juag
mempeloporu adanya sistem penggajian bagi aparat negara.
Dalam
mendistribusikan harta Baitul Mal tersebut, Abu Bakar menerapkan prinsip
kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah
Saw. dan tidak membeda-bedakan antara sahabat yang kemudian, anatara hamba dengan
orang merdeka, dan antara pria dengan wanita. Menurutnya, dalam hal keutamaan
beriman, Allah Swt. Yang akan memeberikan ganjarannya, sedangkan dalam masalah kebutuhan hidup, prinsip
kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan.
Dengan demikian, selama masa
pemerintahan Abu Bakar Al-Shiddiq, harta baitul mal tidak pernah menumpuk dalam
jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum
Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar Al-Shiddiq wafat, hanya ditemukan satu dirham
dalam perbendaharaan Negara. Seluruh
kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan Negara. Apabila
pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan
tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi
pada peningkatan aggregate demand dan aggregate supply yang pada akhirnya akan
menaikkan total pendapatan nasional , di samping memperkecil jurang pemisah
antara orang-orang yang kaya dengan orang-orang yang miskin.
Harta yang diperlukan untuk
mengisi baitul mal yaitu berupa harta yang diperbolehkan oleh Allah SWT.
Sedangkan dana yang dikeluarkan baitul mal dialokasikan untuk penyebaran islam,
pendidikan dan kebudayaan, pengembangan ilmu pengetahuan, pembangunan
infrastruktur, pembangunan armada perang dan keamanan, dan penyediaan pelayanan
kesejahteraan sosial. Untuk mengelola sumber penerimaan negara dan sumber pengeluaran
negara, Rasulullah menyerahkan kepada baitul mal dengan manganut asas anggaran
berimbang (balance budget), yaitu penerimaan sama dengan pengeluaran negara.
2.2 Kebijakan Fiskal Khalifah Umar Bin
Khattab
Kebijakan Fiskal untuk
Optimalisasi Pendapatan Negara
Pada masa pemerintahan Umar bin Khathab
yang berlangsung selama sepuluh tahun banyak melakukan perluasan wilayah
sehingga wilayah Islam meliputi jazirah Arab, sebagian wilayah Romawi (Syiria,
Pelastina, dan Mesir) serta seluruh wilayah Persia, termasuk didalamnya Irak.35
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat Umar bin Khathab segera merubah
sistem administrasi negara dengan mencontoh Persia. Administrasi pemerintah dibagi menjadi delapan
provinsi: Mekah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir.
Perubahan ini dilakukan Umar atas saran dari Homozan, seorang tahanan Persia
yang kemudian masuk Islam dan menetap di Madinah. Dialah yang telah memberikan
penjelasan kepada Umar tentang sistem Administrasi yang telah dipraktikan
dengan baik oleh raja Sasanian. Dalam rangka menjaga dan mengelola pendapatan
negara, Khalifah Umar telah melakukan banyak kebijakan penting. Kebijakan
tersebut ditujukan untuk mengoptimalkan pendapatan negara tetapi tetap
mendorong agar tidk menyebabkan kelesuan ekonomi, bahkan semakin meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Selain itu juga diterapkan sistem pengelolaan yang
transparan dan akuntabel sebagai bentuk tangungjawab yang besar dari
pemerintah. Beberapa kebijakan penting khalifah Umar berkaitan dengan pendapatan
negara tersebut dijelaskan pada bagian berikut.
1)
Penataan Sistem Administrasi
Keuangan dan Baitul Mal
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar, pendapatan
negara mengalami peningkatan yang sangat besar. Oleh karenanya, hal ini
kemudian mendapatkan perhatian yang serius agar pengelolaan dan pemanfaatannya
dapat dijalankan secara benar, efektif dan efisien. Setelah melakukan syuro
(musyawarah) dengan para sahabat terkemuka, Khalifah Umar mengambil keputusan
untuk tidak menghabiskan harta Baitul Mal sekaligus, tetapi dikeluarkan sesuai
prioritas kebutuhan belanja negara, bahkan sebagian dana juga dicadangkan.
Baitul Mal yang telah didirikan pada masa Nabi dan telah dilanjutkan oleh Abu
Bakar, kemudian dikembangkan oleh sistem dan fungsinya pada masa pemerintahan Umar
bin Khathab sehingga menjadi lembaga yang bersifat permanen dan berfungsi
secara reguler. Pembangunan dan pembenahan institusi Baitul Mal dengan sistem
administrasi yang tertata rapi dan baik merupakan kontibusi terbesar yang
diberikan oleh Khalifah Umar bin Khathab kepada dunia Islam dan kaum Muslimin.
Selain itu Baitul Mal lokal juga didirikan diberbagai
distrik dan provinsi. Sehingga dalam masa khalifah Umar, sistem administrasi
lebih berkembang dan negara memiliki Batiul Mal pusat dan lokal.39 Bangunan
Baitul Mal pusat didirikan pertama masa Umar pada tahun 16 H (638 M) berada di
Ibu Kota Negara, Madinah dan Baitul Mal lokal kemudian juga didirkan di
masing-masing Ibu Kota Provinsi. Untuk mengelola lembaga tersebut Khalifah Umar
mengangkat Abdullah bin Irqam sebagai bendahara negara bersama dengan
Abdurrahman bin Ubaid al-Qari dan Muayqab sebagai wakilnya.
Dalam
catatan sejarah, pembenahan sistem manajemen Baitul Mal tersebut
dilatarbelakangi oleh besarnya setoran pajak al-kharaj oleh Abu Hurairah, Gubernur
Bahrain yang mencapai 500.000 dirham tahun 16 H. Selain itu, setelah
penakhlukan Syiria, Irak dan Mesir pendapatan Baitul Mal meningkat signifikan,
dimana kharaj dari Irak mencapai 100 juta dinar dan dari Mesir 2 juta dinar. Hal inilah yang kemudian mendorong Khalifah Umar untuk
melakukan syuro dengan para sahabat terkemuka sehingga mendapatkan keputusan
untuk tidak mendistribusikan penerimaan tersebut, tetapi dijadikan sebagai
cadangan untuk keperluan darurat, pembayaran gaji bagi tentara maupun berbagai
kebutuhan umat lainnya.41 Bahkan ketika ibu kota Persia, Cteshipon dikuasai oleh pasukan Sa’ad bin Abi
Waqqash tahun 637 M, harta yang diperoleh diperkirakan mencapai 5 milyar
dirham. Dimana seperlima harta yang dikirm ke Madinah meliputi segala macam
permata yakut, zamrud, berlian, emas, dan perak. Demikian juga ketika ‘Amr bin
Ash menguasi mesir melalui perjanjian Iskandariah, ia memberikan laporan kepada
Khalifah Umar telah mendapatkan 4.000 vila, 4.000 pemandian, 40.000 pajak dari orang Yahudi, dan
400 tempat hiburan para bangsawan. Selain itu dalam perjanjian damai tersebut
disepakati adanya pembayaran jizyah bagi setiap laki-laki sebesar 2 dinar, dan
setelah dihitung mereka yang terkena kewajiban untuk membayar kharaj ini
mencapai 600.000 orang.
2) Reformasi Sistem Kepemilikan dan Perpajakan
Pada masa Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam
semakin meluas dengan banyaknya wilayah-wilayah yang ditakhlukan, baik melalui
peperangan maupun secara damai. Hal ini
kemudian menimbulkan permasalahan baru, diantaranya adalah kebijakan negara
terhadap status kepemilikan tanah-tanah takhlukan tersebut. Sehigga dalam
masalah ini meuncul dua pendapat yang berbeda. Para tentara dan sahabat
terkemuka menuntut agar tanah dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan
sebagaimana selama ini sudah biasa diterapkan pada masa Rasulullah dan Khalifah
Abu Bakar. Tetapi selain pendapat tersebut ada pendapat berbeda, salah satunya
adalah Muadz bin Jabal yang menyatakan pendapatnya kepada Umar: “Apabila engkau
membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan menggembirakan. Bagian yang
bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal dunia dan
keseluruhannya akan menjadi milik seseorang saja. Ketika generasi selanjutnya
datang dan mereka mempertahankan Islam dengan sangat berani namun mereka tidak
akan menemukan apapun yang tersisa. Oleh karena itu, carilah sebuah rencana
baik dan tepat untuk mereka yang datang pertama dan yang akan datang kemudian”.
Umar mengambil sikap sesuai dengan saran Muadz tersebut. Dalam perjalanan ke
Palestina dan Syiria, ia mengadakan pertemuan dengan para panglima militer dan
pemimpin pasukan di Djabiya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Setelah
melalui perdebatan yang panjang dan didukung sejumlah sahabat lainnya Khalifah
Umar memutuskan untuk memperlakukan tanah tersebut sebagai fai’ (dimiliki
negara), dan prinsip yang sama diadopsi untuk kasus-kasus yang akan datang.
Umar menerapkan suatu sistem administrasi yang
terperinci mencakup: penaksiran, pengumpulan dan pendistribusian dari
pendapatan yang diperoleh dari kharaj tersebut. Untuk melaksanakan hal ini
Khalifah Umar mengutus Utsman bin Hunaif alAnshori untuk melakukan survei batas-batas tanah di Irak. Berdasarkan hasil
survei luas tanah tersebut 36 juta jarib atau sekitar 133,85 juta hektar.55
Setelah itu, Utsman mengirim proposalnya tersebut kepada Khalifah untuk
dimintakan persetujuannya. Dalam hal ini, Khalifah Umar menerapkan beberapa
peraturan sebagai berikut: (1) Wilayah Irak, yang ditakhlukan dengan kekuatan menjadi
milik kaum Muslimin dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan
bagian wilayah lainnya yang berada dibawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh
pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan. (2) Kharaj
dibebankan atas semua tanah yang berkategori pertama, meskipun pemilik tanah
tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian tanah tersebut tidak dapat
dikonversi menjadi tanah ushr (tidak dapat dikonversi untuk bebas pajak dengan
menjadi zakat pertanian). (3) Bekas pemilik tanah diberikan hak kepemilikan
selama mereka membayar kharaj dan jizyah. (4) Tanah yang tidak ditempati atau
ditanami (tanah mati) atau tanah yang di klaim kembali bila diolah kaum
Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr (berkewajiban membayar zakat pertanian).
(5) Di Irak, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (ukuran
lokal) dari gandum dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut
dilalui oleh air. Kharaj yang lebih tinggi dibebankan kepada ratbah (rempah
atau cengkeh) dan perkebunan. (6) Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar dan
konsep ini telah disetujui Khalifah, setiap pemilik tanah dibebankan pajak
sebesar dua dinar, disamping tida irdabb gandum, dua qist untuk setiap minya,
cuka, dan madu. Dan (7) Perjanjian Damaskus (Syiria) berisi tentang ketetapan
pembayaran tunai, pembagian tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk
setiap orang sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang di
produksi dari per-jarib (ukuran) tanah.
Pada
masa Khalifah Umar ini jumlah pajak tanah (kharaj) secara umum telah
dikonsultasikan dengan petani Persia dan para peneliti, terutama untuk tanah
didaerah Mesopotamia Kecil. Fakta
sejarah juga menunjukan bahwa tanah tersebut juga telah disurvei pada masa Raja
Persia Khosraw Anushirvan dan jumlah pajak tanah telah ditetapkan berdasarkan
jarak dan dekatnya dari kota, sungai dan jalan. Dengan demikian metode yang
digunakan pemerintahan Umar tersebut merupakan hasil adopsi dari praktik-prakti
terbaik (best practices) bangsa-bangsa sebelumnya yang disertai dengan beberapa
modifikai yang sesuai dengan ajar Islam.
Dengan demikian jumlah pajak di daerah Mesopotamia
Kecil bervariasi dari satu daerah ke daerah lain dan dari satu tempat ke tempat
yang lain. Menurut sebuah riwayat, Khalifah Umar memungut pajak atas setiap
jarib dari tanah pertanian gandum sebesar satu dirham plus satu qafiz,60 pada
pertanian buah-buahan sebesar sepuluh dirham dan atas alfafa sebesar lima
dirham. Riwayat lain menyebutkan bahwa pemerintah memungut pajak delapan dirham
atas setiap jarib lahan kurma, enam dirham atas setiap jarib lahan tebu,
sepuluh dirham atas setiap jarib lahan buah-buahan, empat dirham atas setiap
jarib lahan gandum, dan dua dirham atas setiap jarib lahan barley (sejenis
gandum). Masih menurut sumber yang sama, disebutkan bahwa Khalifah juga
memungut pajak sepuluh dirham atas kebun anggur, lima dirham atas alfafa, dan
atas setiap lahan yang diirigasi dengan air baik itu diolah atau tidak pajaknya
sebesar satu dirham plus satu sha’ atau sekitar 8 kilogram, setiap kebun kurma
yang tidak diirigasi zakatnya sepersepuluh (10%) dan yang diirigasi dengan
saluran air sebesar seperduapuluh (5%) dari hasil panen.
Selain pajak tanah (kharaj), sumber penerimaan
pemerintah yang penting lainnya adalah pajak keamanan bagi non-muslim (jizyah).
Ketika perjanjian damai di Mesir ditandantangani, disepakati adanya pembayaran
jizyah bagi setiap laki-laki sebesar 2 dinar, dan setelah dihitung mereka yang
terkena kewajiban untuk membayar kharaj ini mencapai 600.000 orang. Jizah ini
tidak berlaku bagi anak-anak, perempuan, hamba sahaya, lanjut usia dan orang
yang tidak mampu. Sejarawan al-Baladzuri menjelaskan bawah pada masa
Kekhalifahan Umar orang-orang yang dikenakan jizyah di Mesir, mengadakan
persetujuan, dimana setiap orang dikenakan dua dinar, seabagi ganti gandum,
minyak, madu dan cuka. Sehingga kepada setiap orang dikenakan empat dinar, dan
mereka senag dengan keputusan ini. Sumber yang lain menyebutkan bahwa Umar
menulis surat kepada Amr bin Ash dalam menentukan besarnya jizyah dibdeakan
menurut kemampuan mereka: empat dinar bagi yang mampu, tiga dinar bagi golongan
menenggah dan satu dinar bagi yang lemah. Sedangkan Abu Yusuf memberikan
penjelasan berbeda, bahwa jizah tersebut merupakan keharusan bagi semua dzimmi,
tetapi hanya untuk laki-laki, diluar anak-anak dan perempuan. Kepada yang mampu
48 dirham, golongan menengah 24 driham dan kepada yang tidak mampu, peladang
dan pekerja 12 dirham diambil setiap tahun dari mereka.
3)
Perluasan Obyek Zakat
Kebijakan fiskal penting yang juga mendorong
peningkatan pendapatan negara adalah perluasan obyek zakat. Khalifah Umar
memberikan persetujuan untuk menarik zakat dari peternak kuda. Hal dini dilatar
belakangi oleh kegiatan beternak kuda dan memperdagangkan kuda yang dilakukan
secara besar-besaran di Syiria dan diberbagai wilayah kekuasaan Islam lainnya.
Sebelumnya masa Rasulullah kuda tidak dikenai zakat karena jumlahnya terbatas
dan dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi dan jihad. Karena zakat dibebankan
terhadap barang yang memiliki produktivitas maka kuda yang dimiliki kaum
Muslimin ketika itu tidak dikenakan zakat. Ijtihad Umar ini juga didasari oleh
kondisi tingginya harga jual beberapa kuda, pernah diriwayatkan bahwa seekor
kuda Arab Taghlabi diperkirakan bernilai 20.000 dirham (sekitar Rp. 600 juta)
dan penduduk Muslim juga banyak yang terlibat dalam perdagangan ini. Karena maraknya perdagangan kuda ini, mereka
menanyakan kepada Gubernur Syiria Abu Ubaidah waktu itu tentang kewajiban
membayar zakat kuda tersebut. Gubernur memberitahukan bahwa tidak ada kewajiban
zakat atas kuda. Kemudian mereka mengusulkan kepada Khalifah agar ditetapkan
kewajiban zakat atas kuda tetapi permintaan tersebut tidak dikabulkan. Kemudian
mereka mendatangi kembali Gubernur dan bersikeras ingin membayar. Akhirnya, Abu
Ubaidah meminta persetujuan kepada Khalifah Umar dan ditanggapi dengan
instruksi agar gubernur menarik zakat dari mereka dan mendistribusikannya
kepada fakir miskin serta budakbudak. Sejak saat itu, zakat kuda ditetapkan
sebesar satu dinar.
Khalifah Umar juga mengenakan khums zakat atas karet
yang ditemukan di semenanjung Yaman dan hasil laut karena barang-barang
tersebut dianggap sebagai hadiah dari Allah. Khalifah Umar juga menerapakan
zakat atas madu dari pemilik sarang lebah. Hal ini dilatarbelakangi oleh
laporan Gubernur Thaif bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar zakat tetapi
menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Khalifah
Umar memberi keputusan bahwa jika mereka membayar zakat maka sarang lebah
mereka akan memperoleh perlindungan, dan demikian sebaliknya. Khalifah Umar
membedakan madu yang diperoleh dari pegunungan zakatnya sebesar seperduapuluh
(1/20) dan madu yang diperoleh dari ladang dengan tarif zakat sebesar sepersepuluh
(1/10).
4)
Penetapan Pajak Perdagangan
(Ushr)
Kebijakan penting lainnya masa Khalifah Umar adalah
pembebanan sepersepuluh (1/10) hasil pertanian kepada pedagang. Berkaitan
dengan pajak perdagangan (ushr) terdapat beberapa perbedaan riwayat tentang latar
belakangnya. Menurut satu riwayat, ketetapan tersebut dilatarbelakangi oleh
penduduk Manbij (Hieropolis) yang merupakan orang-orang harbi yang meminta izin
kepada khalifah untuk memasuki negeri Muslim untuk melakukan perdagangan.
Setelah melakukan Syuro dengan para sahabat maka diberilah izin. Menurut
riwayat yang lain, ketika Abu Musa al-Asy’ari menulis surat kepada Khalifah
Umar yang menyatakan bahwa pedagang Muslim dikenakan pajak sepersepuluh di
tanah harbi, Khalifah umar menyarankan agar membalasnya dengan mengenakan pajak
pembelian dan penjualan yang normal kepada mereka. Selain itu berkaitan dengan tarif juga
terdapat beberapa perbedaaan. Tingkat ukuran yang paling umum digunakan adalah
2,5% untuk pedagang Muslim, 5% untuk kafir dzimmi, dan 10% untuk kafir harbi
dengan asumsi harga barang melebih dua ratus dirham. Berdasarkan keterangan
Ziyad bin Hudair, seoprang pengumbul ushr (asyir) di Kembatan Eufrat mengatakan
bahwa biasanya ia mengumpulkan ushr dari pedagang Roma saja. Menurut
penjelasannya bahwa kafir harbi yangtinggal di negara Islam selama periode 6
bulan atau kurang dikenai 10% dan bila memperpanjang waktu tunggal hingga masa
satu tahun mereka dikenakan pajak sebesar 5%. Ushr dibebankan atas suatu barang
hanya sekali dalam setahun, hal ini berdasarkan instruksi Khalifah Umar agar
tidak menariknya dua kali dalam setahun meskipun barang tersebut diperbaharui.
Pos pengumpulan ushr terletak diberbagai tempat yang berbeda-beda, termasuk di
Ibu Kota. Menurut Saib bin Yazid, petugas pengumpul ushr di pasar Madinah,
pedagang Nabaetan yang berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat
yang umum, kemudian beberapa waktu Khalifah Umar menurunkan tarifnya menjadi 5%
untuk minyak dan gandum untuk mendorong masuknya barang-barang tersebut ke kota.
5)
Kebijakan
Menerima Sedekah dari Non-Muslim
Pada
masa awal Islam tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya
kecuali orang Kristen Bani Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari
hewan ternak. Pada masa Umar
mereka membayar sedekah dua kali lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Awalnya
Khalifah Umar mengenakan jizyah kepada mereka tetapi mereka tidak menerima dan
menggantinya dengan membayar sedekah. Bani Taghlib merupakan suku Arab Kristen
yang gigih dalam peperangan. Oleh karena itu Nu’man bin Zuhra memberikan
masukan berkaitan dengan mereka agar tidak memperlakukan mereka seperti musuh
dan perlu menjadikan keberanian mereka sebagai aset negara. Umar kemudian
menetapkan sedekah ganda yang harus mereka bayar dan dengan syarat agar mereka
tidak membaptis seorang anak dan memaksa untuk untuk memeluk keyakinan mereka.
Mereka setuju dan menerima untuk
membayar sedekah ganda.
2.3 Khalifah Usman Bin Affan (47 SH-45H/577656 M)
Utsman
bin Affan merupakan khalifah ketiga setelah wafatnya Umar bin Khatab. Perluasan
daerah kekuasaan Islam yang telah dilakukan secara masif pada masa Umar bin
Khattab diteruskan oleh Utsman bin Affan. Kekuasannya berlangsung selama 12
tahun berbeda dengan masa Umar. Dalam masa enam tahun pertama masa
pemerintahannya, khalifah Usman melakukan penataan baru dengan mengikuti
kebijakan Umar ibn Khattab dan mencoba melanjutkan serta mengembangkan
kebijaksanaan yang dijalankan oleh Khalifah Umar.
Dalam
6 tahun kepemimpinannya, adapun hal-hal yang dilakukannya yaitu sebagai
berikut:
a.
Pembangunan
pengairan
b.
Pembentukan
organisasi kepolisian untuk menjaga keamanan perdagangan
c.
Pembangunan
gedung pengadilan, guna penegakan hukum
d.
Kebijakan
pembagian lahan luas milik raja Persia kepada individu dan hasilnya mengalami
peningkatan jika dibandingkan pada masa Umar dari 9 juta menjadi 50 juta
dirham.
e.
Selama 6 tahun
terakhir dari pemerintahan Usman, situasi politik negara sangat kacau.
Kepercayaan terhadap pemerintahan Usman mulai berkurang dan puncaknya rumah
Usman dikepung serta beliau dibunuh ketika usia 82 tahun.
Dalam
pendistribusian harta Baitul Mal, khalifah Usman ibn Affan menerapkan prinsip
keutamaan seperti halnya Umar ibn Khattab. Khalifah Usman ibn Affan tetap mempertahankan
sistem pemberian bantuan dan santunan serta memberikan sejumlah besar uang
kepada masyarakat yang berbeda-beda. Sedangkan dalam hal pengelolaan zakat,
khlaifah Usman ibn Affan mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati
kepada para pemiliknya. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai
gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa
oknum pengumpul zakat.
2.4 Khalifah Ali Bin Abi Thalib (23 SH-40 H/600-661 M)
Ali
bin Abi Thalib merupakan khalifah keempat menggantikan Utsman bin Affan yang
terbunuh. Ali berkuasa selama 5 tahun, sejak awal Ali selalu mendapat
perlawanan dari kelompok yang bermusuhan dengannya, yaitu kaum Khawarij dan
peperangan yang berkepanjangan dengan Muawiyah yang memproklamirkan dirinya
sebagai penguasa yang independen.
Khalifah
Ali merupakan salah satu khalifah yang sederhana, ia dengan suka rela menarik
dirinya dari daftar penerima bantuan Baitul Mal (kas negara), bahkan menurut
yang lainnya dia memberikan 5000 dirham setiap tahunnya. Apapun faktanya hidup
Ali sangat sederhana dan ia sangat ketat dan rigit dalam menjalankan keuangan
negara. Suatu hari saudaranya Aqil datang kepadanya meminta bantuan uang,
tetapi Ali menolak karena hal itu sama dengan mencuri uang milik masyarakat.
Pada
masa Ali bin Abi Thalib, sistem administrasi Baitul Mal dibenahinya, baik di
tingkat pusat maupun daerah hingga semuanya berjalan dengan baik. Dalam
pendistribusian harta Baitul Mal, khalifah Ali ibn Abi halib menerapkan sistem
pemerataan. Selama masa pemerintahannya, khalifah Ali ibn Ali Thalib menetapkan
pajak terhadap pemilik hutan sebesar 4000 dirham dan mengizinkan Ibnu Abbas,
Gubernur Kufah, memungut zakat terhadap sayuran segar yang akan digunakan
sebagai distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi.
Selain
itu langkah penting yang dilakukan khalifah Ali ibn Abi Thalib pada masa
pemerintahannya adalah percetakan mata uang koin atas nama Negara Islam. Hal
ini menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan tersebut, kaum muslimin telah
menguasai teknologi peleburan besi dan percetakan koin. Namun demikian, uang
yang dicetak oleh kaum muslimin itu tidak dapat beredar dengan luas karena
pemerintahan Ali ibn Abi Thalib berjalan sangat singkat seiring dengan
terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun keenam pemerintahannya.
Keistimewaan
khalifah Ali dalam mengatur strategi pemerintahan adalah masalah admistrasi
umum dan masalahmasalah yang berkaitan dengannya tersusun secara rapi. Khalifah
Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan
masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya
yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang
mendeskripsikan tugas, kewajiban serta tanggung jawab para penguasa dalam
mengatur berbagai prioritas pelaksanaan dispensasi keadilan serta pengawasan
terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya, serta menguraikan pendapat
pegawai administrasi dan pengadaan bendahara.
Dalam
surat itu juga disebutkan kelebihan dan kekuarangn para jaksa, hakim, dan abdi
hukum lainnya; selain itu juga menjelaskan pendapatan pegawai admisitrasi dan
pengadaan perbendaharaan. Dalam suratnya juga disebutkan bagaimana berhubungan
dengan masyarakat sipil, lembaga peradilan dan angkatan perang. Selanjutnya,
Ali menekankan Malik agar lebih memperhatikan kesejahteraan para prajurit dan
keluarga dan diharapkan berkomunikasi langsung dengan masyarakat melalui
pertemuan terbuka, terutama dengan orang-orang miskin.
Beberapa
perubahan kebijaksanaan yang dilakukan pada masa khalifah Ali adalah sebagai
berikut:
a. Pendistribusian
seluruh pendapatan yang ada pada baitul maal berbeda dengan Umar yang menyisihkan
untuk cadangan,
b. Pengeluaran
angkatan laut dihilangkan.
c. Adanya
kebijakan pengetatan anggaran.
Pemerintahan Ali berakhir dengan
terbunuhnya beliau di tangan Ibnu Muljam dari kelompok Khawarij dalam usia 63
tahun setelah memerintah selama 5 tahun 3 bulan.
3. Sistem Kebijakan Fiskal Masa Bani Umayyah
Pada masa umayah, ada juga kebijakan reformasi fiskal degan
merubah tata kelola keuangan. Reformasi fiskal ini dilakukan setelah adanya
pembatasan urbanisasi dan reformasi budaya pertanian. Sebelumnya, memang ada
kemudahan yang diberikan pada umat islam khususnya warga arab asli seperti
bebas pajak. Berbeda dengan warga non muslim yang diwajibkan untuk membayar
pajak lebih besar. Namun kemudian, ada kebijakan reformasi dimana hampir semua
pemilik tanah baik muslim maupun non muslim diwajibkan membayar pajak tanah.
Berbeda pada masa Umar bin Abdul Aziz, beliau memiliki pandangan
bahwa menciptakan kesejahteraan masyarakat bukan dengan cara mengumpulkan
pajak, melainkan dengan mengoptimalkan kekayaan alam yang ada. Umar percaya
jika hal itu bisa dilakukan dengan mengelola keuangan negara dengan efektif dan
efisien. Umar bin Abdul Aziz tidak hanya layak disebut sebagai pemimpin negara,
tetapi juga sebagai fiskalis muslim. Dia mempunyai kemamampuan untuk
merumuskan, mengelola, dan memutuskan kebijakan fiskal dengan baik[1].
Dalam penarikan pajak Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz telah menekankan bahwa pajak
harus dikumpulkan dengan adil dan dalam pengambilanya tersebut harus lemah
lembut tanpa adanya tindak kekerasan ditambah lagi jangan sampai melebihi
kemampuan oarng yang dibebani. Dan yang paling penting para pengumpul pajak
tidak boleh menjauhkan rakyat dari kebutuhan pokok. Umar juga melakukan
pembersihan di kalangan keluarga Bani Umayyah. Tanah- tanah atau harta lain
yang pernah di berikan kepada orang tertentu di masukan ke dalam Baitul Māl.
Kebijakan dibidang fiskal mendorong orang non muslim untuk memeluk agama Islam.
Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz juga Mengurangi beban pajak yang biasa di pungut
dari orang-orang Nasrani. Dan ia juga memerintahkan supaya menghentikan pemungutan
pajak dari kaum Nasrani yang masuk agama Islam.
Kebijakan Umar bin Abdul Azis dalam Baitul Mal juga berbeda dengan
mayoritas pemimpin bani umayyah yang lainnya. Dimana membenahi tentang berbagai
aturan yang berkenaan dengan harta masyarakat. Ia sangatlah bersungguh-sungguh
dalam menegakkan keadilan, kebijaknnya lebih diprioritaskan dalam
mensejahterakan masyarakatnya. Baitul mal dikelola sesuai dengan fungsinya
yaitu dissalurkan kepada yang berhak menerima santunan dan untuk semua
kepentingan masyarakat umum. Karena pada kondisi pemerintahan
4. Sistem Kebijakan Fiskal Bani Abbasiyah
Pada masa Dinasti Abbasiyah
di Baghdad menggambarkan bahwa pada saat itu kedaulatan umat islam telah sampai
pada puncak kemuliaan, baik kekayaan kemajuan maupun kekuasaan. Pada zaman ini
telah lahir berbagai ilmu pengetahuan islam seperti filsafat, astronomi,
kedokteran, fisika, matematika, dimana lahirnya ilmu-ilmu ini yang membuat
islam sangat jaya terlebih saat pemerintahan di pimpin oleh Khalifah Harun
Ar-Rasyid. Ketka pemerintahan Harun Ar-Rasyid pertumbuhan ekonomi berkembang
dengan pesat dan kemakmuran mencapai puncaknya.
Sumber pendapatan negara
pada masa ini terdiri dari Kharaj, Jizkyah, Zakat, Fai, Ghanimah, Ushur, dan
Harta Warisan yang tidak memiliki ahli waris. Pendapatan negara dikeluarkan
berdasarkan kebutuhan dan dialokasikan untuk riset ilmiah dan penterjemahan
buku-buku Yunani ke bahasa arab, mendorong dan memfasilitasi pembaruan dibidang
pendidikan dengan mendirikan madrasah secara resmi atas perintah pemerintah,
penggalian beberapa sumur untuk memudahkan rombongan haji dari Irak sampai
Madinah, memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat dengan mendirikan rumah
sakit disamping itu untuk biaya pertahanan dan anggaran rutin pegawai.
Pada masa Harun Ar-Rasyid
untuk masalah perpajakan dan keuangan publik beliau merujuk pada buku karya Abu
Yusuf yang berjudul Al-Kharaj. Pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid
pemungutan kharaj berdasarkan tiga cara: pertama, dengan cara muhasabah atau
penaksiran luas areal tanah dan jumlah pajak yang harus dibayar daam bentuk
uang. Yang menjadi landasan pemungutan pajak adalah irigasi. Tanah yang tidak
membutuhkan tenaga atau biaya banyak untuk irigasi, jumlah pajaknya 10% dan
tanah yang memerlukan tenaga atau biaya untuk irigasi jumlah pajaknya adalah
5%.
Kedua, pemungutan pajak
dilakukan dengan cara muqasamah, yaitu penetapan jumlah tertentu dari hasil
yang diperoleh. Dalam metode muqasamah, para petani dikenakan rasio tertentu
dar total produksi yang mereka hasilkan. Rasio ini bervariasi, sesuai dengan
jenis tanaman, sistem irigasi dan luas areal pertanian. Ketiga, pemungutan
pajak dilakukan dengan cara muqthaa’ah yaitu penetapan pajak hasil bumi
terhadap para jutawan berdasarkan persetujuan antara pemerintah dengan yang
bersangkutan.
Daftar Pustaka:
Huda,
Nurul. 2009. Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis. Jakarta: Kencana
Karim,
Adiwarman Azwar. (2006). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Edisi Ketiga.
Jakarta: Rajawali Press.
Kasmiati.
2006. Harrun Ar-Rasyid. Jurnal Hunafa Vol.3 No.1 Maret 2006. STAIN
Dakotarama
Palu.
Mudhiiah,
Kharidatul. 2015. Analisis Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Masa Klasik.
Iqtishadia:
Vol. 8, No. 2
Komentar
Posting Komentar