Fiqh I: Ariyah atau Pinjam-meminjam

'ARIYAH

1.  Pengertian ‘Ariyah
                      Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman. Istilah ‘ariyah merupakan nama atas sesuatu yang dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi, pengertian ‘ariyah adalah kebolehan memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu imbalan. ‘Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan. Secara terminologi Al Ariyah ialah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang masih di gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya. Peminjaman barang sah dengan ungkapan atau perbuatan apapun yang menunjukkan kepadanya peminjaman dilakukan berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma ulama.
Dalam hal ini terdapat perincian beberapa madzhab :
·         Madzhab Maliki (Al Malikiyah), ‘Ariyah didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan itu merupakan nama bagi sesuatu yang dipinjam. Maksudnya adalah memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya temporer (sementara waktu) dengan tanpa ongkos. Contohnya seperti meminjamkan hak memiliki manfaatnya motor (suatu benda) ditentukan waktunya dengan tanpa ongkos. Maka pemberian hak memiliki manfaat dinamakan ‘Ariyah (meminjamkan).
·         Madzhab Hanafi (Al Hanafiyah), ‘Ariyah adalah memberikan hak memiliki manfaat secara cuma-cuma. Sebagian ulama mengatakan bahwa ‘Ariyah adalah “membolehkan” bukan “memberikan hak milik”. Pendapat ini tertolak dari dua segi, yaitu:
a.       Bahwa perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah dengan ucapan   memberikan hak milik, tetapi tidak sah dengan ucapan membolehkan kecuali dengan tujuan meminjam pengertian memberikan hak milik.
b.      Bahwasannya orang yang meminjam boleh meminjamkan sesuatu yang ia pinjam kepada orang lain jika sesuatu tersebut tidak akan berbeda penggunaannya dengan perbedaan orang yang menggunakan baik dari segi kekuatan atau kelemahannya. Seandainya meminjamkan itu hanya membolehkan, maka orang yang meminjam tidak sah meminjamkan kepada orang lain.
·         Madzhab Syafi’i (Asy Syafi’iyyah), Perjanjian meminjamkan ialah membolehkan mengambil manfaat dari orang yang mempunyai keahlian dengan melakukan barang yang halal dan diambil manfaatnya dalam keadaan barang masih tetap utuh untuk dikembalikan kepada orang yang melakukan kesukarelaan. Misalnya adalah Ani meminjamkan buku fiqh (halal diambil manfaatnya) kepada Lina (orang yang berkeahlian melakukan amal sukarela), maka sahlah ani untuk meminjamkan buku fiqh tersebut kepada Lina.
·         Madzhab Hambali (Al Hanabilah), ‘Ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya atau pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara mutlak dengan tanpa imbalan ongkos.
                    Perbedaan pengertian tersebut menimbulkan  adanya perbedaan dalam akibat hukum selanjutnya, pendapat pertama memberikan makna kepemilikan kepada peminjam, sehingga membolehkan untuk meminjamkan lagi terhadap orang lain atau pihak ketiga tanpa melalui pemilik benda, sedangkan pengertian yang kedua menunjukkan arti kebolehan dalam mengambil manfaat saja, sehingga peminjam dilarang meminjamkan terhadap orang lain.
                     Akad dalam ariyah berbeda dengan hibah, karena dalam Ariyah hanya untuk diambil manfaatnya tanpa mengambil zatnya. Tetapi dalam Hibah dapat diambil keduanya, baik dari zat dan juga manfaatnya.
                      Dalam undang-undang Perdata dikatakan hak kebendaan (zekelijkrect) adalah hak mutlak atas suatu benda tersebut, yang mana hak tersebut memberikan kekuasaan langsung pada pemiliknya.
                     Dalam ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 dijumpai ketentuan yang berbunyi sebagai berikut : “ pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.



2.  Macam-macam ‘Ariyah
             Ditinjau dari kewenangannya, akad pinjaman meminjam (‘ariyah) pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua macam :
1.       ‘Ariyah muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan jangaka waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang berharta, sehingga untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat tertentu. Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir (orang yang meminjamkan) dan musta’ir (orang yang menerima pinjaman) tentang lamanya waktu meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
2.       ’Ariyah mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi. Melalui akad ‘ariyah ini, peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman, meskipun tanpa ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang membutuhkan pinjaman, pemilik barang sama sekali tidak memberikan syarat tertentu terkait obyek yang akan dipinjamkan. Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya.Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggung jawab.

3.    Berakhirnya masa ‘Ariyah
Peminjaman barang berakhir dengan adanya hal-hal berikut:
1.      Pemberi pinjaman meminta agar pinjamannya dikembalikan. Hal ini karena akad pinjaman tidaklah mengikat, sehingga ia berakhir dengan pembatalan (fasakh).
2.      Peminjam mengembalikan barang yang dia pinjam.
3.      Salah satu pihak pelaku akad gila atau tidak sadarkan diri.
4.      Kematian salah satu pihak pelaku akad, pemberi pinjaman atau peminjam.
5.      Al-Hajr (pelarangan untuk membelanjakan harta) terhadap salah satu pihak pelaku akad karena kedunguan (safah)
6.      Al-Hajr yang disebabkan kebangkrutan pemberi pinjaman.hal ini karena dengan kebangkrutannya, maka dia tidak boleh mengabaikan manfaat dari harta bendanya dan tidak mengambilnya. Ini adalah kepentingan para pemberi utangnya.

4.  Hikmah ‘Ariyah
·         Bagi peminjam
1.      Dapat memenuhi kebutuhan seseorang terhadap manfaat sesuatu yang belum dimiliki.
2.      Adanya kepercayaan terhadap dirinya untuk dapat memanfaatkan sesuatu yang ia sendiri tidak memilikinya.
·         Bagi yang memberi pinjaman
1.      Sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah dianugrahkan kepadanya.
2.      Allah akan menambah nikamat kepada orang yang bersyukur.
3.      Membantu orang yang membutuhkan
4.      Meringankan penderitaan orang lain.

5.      Disenangi sesama serta di akherat terhindar dari ancaman Allah dalam surat al-maun ayat 4-7.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAIDAH NAHI (LARANGAN)

Kaidah Mujmal dan Kaidah Mubayyan

Kaidah Perintah Pengantar Ushul Fiqh