BAHAYA SERTA PEMECAHAN PROBLEMA RIBA DALAM MASYARAKAT

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat, karunia serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Bahaya Serta Pemecahan Problema Riba Dalam Masyarakat” dengan lancar dan dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi syarat kelulusan Ujian Akhir Semester pada mata kuliah Filsafat Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang.
Dalam kesempatan ini, penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan dan kelemahan yang jauh dari apa yang diharapkan. Untuk itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan dan perbaikan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan bagi penulis sendiri maupun bagi orang yang membacanya.

Malang, 27 Desember 2015
   Penulis


         Dina Sutiyani



DAFTAR ISI

Hal Judul........................................................................................................ i
Kata Pengantar.............................................................................................. ii
Daftar Isi......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2     Rumusan Masalah......................................................................... 1
1.3     Maksud dan Tujuan....................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Riba.............................................................................. 3
2.2 Macam-Macam Riba...................................................................... 4
2.3 Hukum Riba................................................................................... 6
2.4 Sebab Larangan pada Barang Ribawi............................................ 9
2.5 Macam-Macam Pinjaman Ribawi Beserta Dampaknya................ 10
2.6 Hikmah Diharamkannya Riba....................................................... 12
2.7 Pemecahan Islami Terhadap Problema Riba................................. 13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Riba merupakan bahaya yang paling besar bagi segenap manusia dari berbagai aspeknya. Baik bahaya terhadap akhlak maupun bahaya rohaninya sekaligus. Karena orang yang melakukan transaksi semacam ini, maka akan terus berkeinginan untuk terus mengumpulkan harta kekayaan dengan berbagai cara sehingga dirinya akan dikuasai oleh sifat tamak dan egoisme karena tidak memperdulikan apakah orang lain akan mengalami kerugian atau tidak.
Hampir tidak ada orang yang berselisih untuk menyatakan bahwa masyarakat yang para individunya berlaku egois, tidak saling membantu, tentu masyarakat yang seperti ini tidak akan bisa berdiri pada pondasi yang kuat. Tetapi setiap golongan tersebut akan cenderung pada perpecahan dan juga saling bentrok terhadap satu sama lainnya. Akan tetapi, jika berlaku sebaliknya, yang apabila masayarakat-masyarakat tersebut berdiri di atas asas gotong royong, penuh solidaritas, dan para anggotanya saling bermurah hati, maka suatu masyarakat tersebut tentu akan bisa berdiri dengan kuat sehingga bisa mencapai kemajuan, dan kemakmuran.
Dengan demikian, sangat tepatlah jika Islam yang sangat keras mengharamkan riba demi menggalakkan sikap kedermawanan di atas sikap egoisme. Karena riba merupakan perbuatan terlarang yang paling besar, sekalipun hal tersebut dilakukan oleh orang Islam terhadap non Islam.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut:
1.    Apa pengertian riba?
2.    Apa saja macam-macam riba?
3.    Bagaimana hukum riba dalam agama samawi, Al-Qur’an dan hadist?
4.    Apa sebab-sebab yang menjadi larangan pada barang ribawi?
5.    Apa saja macam-macam pinjaman ribawi? Serta bagaimana dampaknya?
6.    Apa saja hikmah diharamkannya riba?
7.    Bagaimana cara menghindari riba?

1.3  Maksud dan Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah pertanyaan di atas, adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mempelajari dan mengetahui tentang pengertian riba
2.      Untuk mengetahui macam-macam riba
3.      Untuk memahami bagaimana hukum-hukum riba yang terdapat pada Al-Qur’an dan hadist.
4.      Untuk mengetahui apa saja sebab-sebab larangan barang ribawi
5.      Untuk mengetahui apa saja yang termasuk pinjaman ribawi
6.      Untuk mengetahui bagaimana dampak ribawi dalam masyarakat
7.      Untuk mengetahui hikmah yang ada dibalik keharaman riba
8.      Untuk mempelajari tentang bagaimana cara menghindari riba










BAB II
PEMBAHASAN

2.1  PENGERTIAN RIBA
a.       Riba secara etimologis
Kata riba dalam kamus-kamus bermakna Ziyadah yang berarti tambahan. Tetapi, yang dimaksud tambahan disini adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi. Dengan demikian, yang dinamakan riba juga dapat diartikan sebagai tambahan yang diberikan oleh pembeli (debitur) kepada penjual (kreditur) atas pinjaman pokoknya sebagai imbalan atas tempo pembayaran yang telah disyaratkan.
Dari pengertian diatas, maka riba ini mengandung tiga unsur, diantaranya yaitu kelebihan dari pokok pinjaman, kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran dan jumlah tambahan yang disyaratkan di dalam transaksi.
b.       Riba menurut Syara’
Menurut golongan Syafi’i, riba adalah suatu transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak diketahui kesamaan takarannya maupun ukurannya dengan menunda waktu penyerahan kedua barang atau salah satu barang yang dipertukarkan. Kesamaan takaran atau ukuran yang dimaksud yaitu pada barang yang sejenis, misalnya emas dengan emas. Ketika terjadi penundaan waktu penyerahan, maka bisa jadi harga dari salah satu barang tersebut telah berubah harganya, sehingga pertukaran semacam inilah yang mengandung sifat riba.
Sedangkan menurut golongan Hambali, riba adalah tambahan yang diberikan pada barang tertentu. Maksud dari barang yang tertentu yaitu barang yang bisa ditukar atau ditakar dengan jumlah yang berbeda. Namun, ada juga definisi lain tentang riba menurut golongan Hambali, yaitu kelebihan pertukaran barang tertentu dan penyerahannya bertempo pada barang-barang yang bisa ditimbang atau ditakar.

2.2  MACAM-MACAM RIBA
Riba tidak hanya satu macam, tetapi riba terbagi menjadi bermacam-macam sesuai dengan sifat dan tujuan transaksinya. Umumnya riba terjadi karena adanya tambahan dalam pertukaran, baik karena penundaan atau karena barang serupa. Namun secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Yaitu riba utang piutang (riba ad-duyun) dan riba jual beli (riba al buyu’).
a.       Riba Utang Piutang
Riba dalam utang piutang dikenal dengan istilah riba ad-duyun, yang berarti manfaat tambahan terhadap utang. Bisa dikatakan sebagai riba ad-duyun yaitu jika kedua belah pihak telah menyepakati ketentuan apabila pihak yang berhutang akan mengembalikan utangnya dengan tepat waktu maka dia tidak dikenai tambahan. Namun, jika utangnya tidak tepat waktu, maka akan dikenai tambahan atas utangnya tersebut. Adapun yang termasuk sebagai riba utang piutang adalah sebagai berikut:
v  Riba Qardh
Riba qardh merupakan riba yang muncul akibat adanya tambahan atas pokok pinjaman yang dipersyaratkan dimuka oleh kreditur atau kepada pihak yang berhutang yang diambil sebagai keuntungan.
Misalnya, ketika Ani meminjam uang kepada Budi sebesar 10 juta dengan jangka waktu tempo satu tahun. Kemudian, Budi membuat kesepakatan mengembalikan hutang dengan ditambah bunga sebesar 15%. Dan keduanya sejak awal telah menyepakatinya. Maka, tambahan 15% itulah bisa dikatakan sebagai riba Qardh.
Perbedaan antara utang yang muncul karena qardh dengan utang karena jual beli yaitu terletak pada asal akadnya. Utang qardh muncul karena semata-mata untuk akad utang piutang, yaitu meminjam harta orang lain yang bertujuan untuk dihabiskan, yang kemudian akan diganti pada waktu lain. Sedangkan utang dalam jual beli muncul karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik itu sebagian atau keseluruhan.
v  Riba Jahiliyah
Riba jahiliyah yaitu riba yang terdapat pada hutang yang dibayar melebihi dari pinjaman pokoknya yang dikarenakan pihak peminjam tidak mampu untuk membayar atau mengembalikan utang tersebut dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Misalnya ketika Ani meminjam uang sebesar 5 juta kepada Bibah dengan syarat tahun depan mengembalikan utangnya sebesar 5,2 juta. Namun, jika tahun depan Ani tidak bisa mengembalikan utangnya, maka utang ani akan bertambah sebesar 5,4 juta hingga seterusnya.
b.       Riba Jual Beli
Riba jual beli biasa dikenal dengan riba al-buyu’. Adapun yang termasuk sebagai riba jenis ini yaitu sebagai berikut:
v  Riba Fadhl
Yaitu riba yang ada tafadhul pada dua perkara yang sejenis dan diwajibkan secara syar’i ada tamatsulnya. Terlarangnya riba ini merupakan penetapan hukum secara “saddusz-dzari’ah” seperti dijelaskan pada hadits Abi Sa’id al-Khudri, bahwa Nabi bersabda yang artinya: “Janganlah kalian menukarkan satu dirham dengan dua dirham, karena aku khawatir kalian berbuat riba.”
Hal ini dikhawatirkan karena terjadinya riba nasi’ah karena adanya penundaan baik berupa barang kebutuhan pokok ataupun lainnya. Sehingga keuntungan yang semestinya terjadi seketika terjadi transaksi akan berubah menjadi keuntungan bertempo atau penundaan waktu.
v  Riba Nasi’ah
Yaitu riba bertempo yang terdapat pada perkara atau riba yang muncul karena akibat pertukaran barang yang tidak sejenis dan diwajibkan secara syar’i ada taqabudh.
Riba nasi’ah biasa dilakukan orang-orang pada zaman Jahiliyah, yaitu pembayaran hutang yang ditunda dengan imbalan tambahan bunga, dan setiap kali terjadi penundaan, maka bunganya akan bertambah pula, sehingga uang yang semula seratus ribu akan menjadi beratus-ratus ribu.

2.3  HUKUM RIBA
1.      Riba dalam Agama Samawi
Riba pada agama-agama langit telah dinyatakan haram. Hal itu juga tertera dalam Perjanjian Lama Kitab Keluaran ayat 25 pasal 22 yang berbunyi: “Bila kamu menghutangi seseorang di antara warga bangsamu, maka janganlah kamu berlaku seperti seorang pemberi utang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang.”
Namun orang-orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanyalah terlarang jika dilakukan di kalangan sesama Yahudi. Tetapi tidak terlarang dilakukan terhadap non-Yahudi.
Tetapi Islam juga beranggapan bahwa ketetapan-ketetapan yang mengaharamkan riba hanya berlaku pada golongan tertentu, dan yang tercantum dalam Perjanjian Lama merupakan ketetapan yang telah dipalsukan. Sebab, riba ini diharamkan bagi siapa saja dan terhadap siapa saja. Karena tindakan ini merupakan perbuatan dhalim dan kedhaliman diharamkan kepada semua orang tanpa pandang bulu.
Umat Nashrani secara tegas telah mengharamkan riba bagi semua orang tanpa membeda-bedakannya baik itu kalangan Nashrani maupun non Nashrani. Tokoh-tokoh Gereja sepakat berpegang pada ketetapan-ketetapan agama yang ada pada mereka. Bahkan kaum periba juga  berusaha untuk menghalalkan beberapa keuntungan yang tidak dibenarkan oleh pihak Gereja karena pengaruh ekonomi Yahudi. Kemudian kelompok ini beranggapan bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan administratif dan organisasi dibenarkan. Banyak orang yang mengambil fatwa semacam ini sehingga berani menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah SWT.
Martin Luther, tokoh gerakan Protestan secara mutlak mengharamkan adanya keuntungan semacam itu, baik sedikit maupun banyak, sekalipun dalam bentuk penjualan kredit, jika harganya lebih mahal daripada harga tunai. Transaksi semacam ini telah menyalahi perintah Allah, akal sehat dan kebenaran. Kegiatan ini sama halnya dengan pedagang yang menaikkan harga dagangannya karena berkurangnya ketersediaan barang atau pedagang membeli semua barang untuk ditimbun kemudian memainkan dalam harga pasar.
Karena menimbun barang ditujukan untuk memperoleh harga yang mahal, hal semacam ini bisa dikatakan sama dengan riba bahkan harga barang yang dimilikinya bisa merusak harga pasar, sehingga bisa menghancurkan pihak lain. Dengan demikian, banyak sekali transaksi jual beli yang dinilai haram karena bisa menyebabkan terjadinya spekulasi dan menumpuknya barang pada beberapa tangan, sehingga harga pasar dapat dimainkan. Oleh sebab itu, keuntungan dagang sekecil apapun yang diperoleh dengan cara semacam itu hukumnya adalah haram.

2.      Riba dalam Al-Qur’an dan Hadits
a.       Hukum Riba dalam Al-Qur’an
Banyak sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa Hadits Nabi SAW yang membicarakan tentang riba sesuai dengan periode larangan. Akan tetapi, ayat al-Qur’an tersebut hanya menyinggung riba yang berhubungan dengan hutang piutang. Sedangkan riba yang berhubungan dengan perdagangan dibahas dalam sunah Nabi SAW. Dalam hal ini Abu Zahrah mengklasifikasikan sunnah Nabi yang membicarakan tentang riba menjadi dua. Yang pertama yaitu sunnah yang berfungsi sebagai tafsiran pada ayat al-Qur’an yang membahas tentang riba. Dan yang kedua yaitu membahas tentang sunnah Nabi yang menggambarkan jenis lain dari riba. Sampai akhirnya datanglah larangan yang tegas pada akhir periode penetapan hukum riba. Hal ini tercantum dalam surat al-Baqarah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
Islam memandang riba termasuk salah satu dosa besar, sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Nabi bersabda yang artinya: “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.........memakan riba.”
Bahkan Allah telah melaknat orang yang turut serta dalam transaksi riba. Bukhari Muslim dan lain lain meriwayatkan dari Jabir, bahwa Rasulullah bersabda yang artinya: “Allah melaknat pemakan riba, pembayarnya, penulisnya, dan dua orang saksinya”
Dan Daraqutny juga meriwayatkan dari Abdullah bin Handullah, bahwa Nabi SAW bersabda yang artinya: “Satu dirham riba sungguh dosanya lebih berat daripada dosa orang berzina tiga puluh enam kali.”
1)      Tahapan Larangan Riba
Larangan riba, datang secara bertahap. Dalam hal ini ada empat ayat yang ditetapkan sebagai larangan riba. Diantaranya yaitu:
Ayat pertama yaitu Surat Rum ayat 39, yang artinya: “Dan sesuatu riba yang kamu lakukan agar menambah harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka orang-orang (yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipatkan (pahalanya).”
Didalam ayat tersebut, terlihat bahwa Allah SWT belum mengharamkan riba secara tegas. Tetapi hanya memberikan penjelasan bahwa Allah SWT tidak menyukai dan tidak akan memberikan barakah pada riba. Tetapi berbeda dengan harta yang dikeluarkan shadaqahnya. Dalam hal ini Allah akan memberikan barakah dan akan melipatgandakannya.
Kedua, yaitu Surat an-Nisa’: 160-161. Didalam ayat tersebut juga tidak menyebutkan adanya larangan riba, tetapi hanya membangkitkan perhatian dan mempersiapkan mental untuk menerima adanya larangan riba. Dan riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT juga akan mengancam dengan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Ketiga, yaitu Surat Ali Imron: 130. Ayat ini juga tidak mengharamkan riba secara tuntas, tetapi hanya mengatakan haram secara temporal, yaitu dalam bentuk berlipat ganda.
Dengan demikian, melihat adanya beberapa ayat diatas, berarti mereka bukan ayat terakhir yang melarang riba sebagaimana yang telah disebutkan. Kemudian datanglah ayat keempat yang dengan jelas menjelaskan secara tuntas tentang haramnya riba, ayat tersebut yaitu terdapat pada surat al-Baqarah: 275-279 yang kemudian dengan cara tegas mengharamkan memakan riba, agar mata manusia terbuka melihat kenyataan berpindahnya kekayaan dari pemiliknya kepada orang yang mengeksploitasi kebutuhan orang.
b.      Hukum Riba dalam Hadits Shahih
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada al-Qur’an, melainkan juga al-Hadits. Peranan hadits Shahih yaitu sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an dalam mengaharamkan riba. Hadits ini berfungsi untuk mempertegas dan memperjelas hukum riba. Adapun riwayat-riwayat penting yang paling sah dalam mengharamkan riba, adalah sebagai berikut:
Dari Ubadah bin Sha’id, dari Nabi SAW, sabdanya: “Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, jika sama macamnya dan sama bentuknya adalah riba. Tetapi jika berlainan jenisnya maka lakukanlah jual beli jika kamu menghendakinya selama itu dengan kontan.” (HR. Muslim)
Umar bin al-Ahwash dari bapaknya meriwayatkan, katanya: “Saya mendengar Rasulullah SAW berpidato pada Haji Wada’: ‘Wahai manusia....... sesungguhnya darah kamu, harta kamu, dan kehormatan kamu haram atas kamu seperti haramnya hari kamu ini di kota kamu ini. Ketahuilah bahwa setiap riba dari riba Jahiliyah dilarang bagi kamu. Kamu hanya berhak atas modal kamu. Kamu tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dianiaya.” (HR. Muslim)
2.4    SEBAB LARANGAN PADA BARANG RIBAWI
Hadits Nabi SAW, menyebutkan bahwa ada enam macam barang ribawi, diantaranya yaitu: mas, perak, gandum, korma, beras dan garam. Akan tetapi sebenarnya barang ribawi itu tidak hanya terbatas pada barang-barang tersebut, melainkan juga terdapat pada yang lain, selama illat (sebabnya) sama.
Para ahli Fiqih berbeda pendapat. Golongan Hanafi dan Hambali berkata: “Illat larangan pada hadits Nabi SAW tersebut karena takaran atau timbangan. Setiap barang yang ditakar, jika diperjual belikan dengan barang sejenis maka akan dianggap sebagai riba, baik itu berupa barang makanan atau yang lain, seperti: gandum dengan gandum, beras dengan beras, dan lain sebagainya. Begitu juga untuk setiap barang yang ditimbang, jika diperjual belikan dengan barang sejenis, maka juga akan dianggap sebagai riba. Sehingga agar dalam jual beli barang sejenis tersebut tidak terjadi riba, maka haruslah dipenuhi syarat-syaratnya. Adapun syarat-syarat tersebut yaitu: hulul, qadhu dan tamatsul.
Jika barang yang diperjualbelikan berbeda, tetapi illat riba fadhl masih ada, seperti gandum dengan beras, maka disini disyraratkan hulul dan qabdhu saja, tanpa tamatsul. Dengan demikian, dibolehkan adanya kelebihan.
Namun, hal ini berbeda dengan pendapat golongan Maliki yang mengatakan bahwa kedua barang tersebut adalah satu jenis. Begitu juga jika terdapat salah satu illat riba fadhl, menurut pendapat yang kuat, disyaratkan adanya hulul dan qabdhu, seperti besi dengan gandum, yaitu yang satu dengan timbangan dan yang lain dengan takaran, maka kedua syarat tersebut harus ada. Sekalipun sebagian ulama membolehkan seperti itu tanpa syarat apapun karena illatnya tidak sama.
Dan untuk transaksi kontan, mereka berkata : “Bila dipertukarkan secara kontan antara satu dengan lainnya, maka dibolehkan tanpa adanya syarat apapun. Baik yang satu kontan, dan yang lain bertempo atau dengan selisih tukar satu dengan lainnya.” Tetapi dalam hal seperti itu, mereka juga berkata “Haram, karena ada tambahan dalam pertukaran dua jenis, sebab illatnya sama dengan riba fadhl. Jika tidak begitu, maka ia termasuk jual beli salam. Tetapi untuk jual beli seperti emas dengan perak atau sebaliknya, maka hal ini disyaratkan huluh dan qabdhu.

2.5  MACAM-MACAM PINJAMAN RIBAWI BESERTA DAMPAKNYA
1.      Pinjaman untuk Menutupi Kebutuhan Penting
Pinjaman kategori inilah yang banyak sekali terdapat ribanya dan sangat luas dilakukan oleh semua manusia. Hal ini terjadi karena tidak terdapatnya pinjaman yang dengan mudah bisa didapat oleh orang-orang yang menghadapi kebutuhan dalam keadaan mendesak. Disisi lain bank-bank hanya mau memberikan pinjaman dengan bunga yang besar, sehingga pintu bank dengan mudah terbuka untuk orang-orang yang terjepit. Namun, persoalan tersebut juga akan lebih mudah jika pinjaman yang diberikan tanpa bunga. Akan tetapi kejadian tersebut sangat bertentangan dengan kejadian saat ini, sehingga selama hidupnya pegawai-pegawai kecil dan kaum miskin tidak dapat terhindar dari jeratan para rentenir dengan bunga. Otomatis kaum miskin ini tidak sanggup melunasi hutang-hutangnya hingga semakin tahun jumlahnya semakin membengkak.
Oleh sebab itu, riba dari pinjaman jenis ini sangat besar bahayanya karena tukang riba telah merampas harta golongan miskin, sehingga mereka akan kehilangan kemampuan daya beli, sedangkan si tukang riba kekayaannya akan terus menumpuk dan menjadikan masyarakat bertambah besar hutangnya.
2.      Pinjaman Para Pedagang dan Industriawan
Sekelompok orang yang bekerja sama dalam satu usaha merupakan suatu hal yang wajar. Mereka pun akan menikmati keuntungan dari modal yang mereka berikan secara bersama-sama. Begitu pula jika mengalami kerugian juga akan ditanggung bersama. Namun, para rentenir tidak mau berfikir seperti ini, karena mereka bertujuan semata-mata hanya untuk mencari keuntungan tanpa kerja susah payah. Sehingga hal semacam ini, bisa memberikan bahaya yang sangat besar. Sebagai contoh adalah:
a.       Modal selamanya akan terpusat pada suatu tempat tanpa berputar pada usaha yang produktif, sehingga kaum kapitalis hanya mau melepaskan uangnya jika suku bunga di pasaran terus naik. Oleh karena itu, maka para penganggur otomatis akan sulit mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi hidupnya, sehingga mereka terpaksa berhutang dengan bunga yang tinggi.
b.      Rakus terhadap suku bunga yang tinggi akan menyebabkan si kapitalis menahan uangnya untuk diputar dalam perdagangan atau industri, kecuali jika sejalan dengan kepentingan pribadinya.
c.       Rentenir tidak mau terjun dalam suatu usaha berapapun untungnya dan dapat membantu kepentingan masyarakat, jika keuntungan yang didapat lebih kecil daripada riba. Sehingga keadaan semacam ini akan mendorong para pedagang dan industriawan mencari jalan yang sah maupun tidak sah untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dari tingkat bunga yang berlaku.
d.      Para rentenir tidak mau memberikan pinjaman kepada buruh dan insustriawan untuk jangka panjang. Akibat dari memberikan pinjaman jangka pendek ini, maka para pengusaha di bidang-bidang lain juga ikut menempuh usaha berjangka pendek, dan membatasi diri pada usaha-usaha yang terbatas lingkupnya dan enggan melakukan suatu usaha yang memberi manfaat besar bagi kepentingan umum.

3.      Pinjaman Pemerintah dari Pihak Luar
Beberapa pemerintah, melakukan pinjaman yang biasanya dikarenakan mengalami krisis besar akibat penghasilan dalam negeri tidak mencukupi. Salah satu sumber pendapatan pemerintah adalah pajak, cukai, dll. Jika sumber ini tidak cukup maka dengan terpaksa pemerintah akan berpaling dengan cara meminjam kepada luar negeri, karena berharap bisa mempercepat laju pembangunan.
Hal seperti ini sangat besar bahayanya, karena keuangan dan ekonomi negara bisa menjadi rusak akibat dari pinjaman yang semacam ini, sehingga pengaruhnya yang tidak baik akan muncul dalam peraturan-peraturan ekonomi negara dan menanamkan rasa permusuhan serta kebencian antar bangsa. Sebab negara debitur selalu dituntut untuk mencicil hutang dengan bunga yang setiap tahunnya bisa mencapai milyaran dolar. Hal semacam ini menimbulkan bencana yng berlipat ganda, sehingga dengan terpaksa pemerintah akan mengenakan pajak tinggi kepada rakyatnya dan akan mengurangi anggaran belanjanya yang bisa menyebabkan kekacauan di tengah masyarakat semakin besar.

2.6  HIKMAH DIHARAMKANNYA RIBA
Islam memperkeras persoalan haramnya riba hanya semata-mata untuk melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya bahkan ekonominya. Menurut Murtadha Muthahhari dan Imam ar-Razi dalam tafsirnya, ada beberapa alasan dan filosofi diharamkannya riba, diantaranya yaitu:
a.       Riba dapat mencegah kebaikan serta bisa meniadakan pengharapan orang-orang yang memiliki kebutuhan terhadap orang lain dengan cara mengambil keuntungan orang lain.
b.      Riba merupakan suatu perbuatan mengambil harta orang lain tanpa menggantinya sedangkan harta orang lain tersebut merupakan standar hidup yang mempunyai kehormatan sangat besar.
c.       Riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja, karena dengan adanya riba, tentunya akan memperoleh tambahan uang baik itu secara kontan maupun secara berjangka. Sehingga si periba akan mengentengkan persoalan kehidupannya.
d.      Riba bisa menghilangkan sumber daya manusia yang produktif, sehingga bisa menyebabkan terjadinya resesi ekonomi serta hilangnya kesejahteraan masyarakat.
e.       Pada umumnya, pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedangkan peminjam merupakan orang yang tidak mampu. Oleh sebab itu, maka pendapat yang yang membolehkan riba, berarti ia telah memberi jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta yang bukan milik kita sebagai tambahan.

2.7  PEMECAHAN ISLAMI TERHADAP PROBLEMA RIBA
a.       Zakat
Seseorang tidak akan berhutang kepada orang lain kecuali karena keadaan terpaksa. Zakat mengembangbiakkan harta dan menumbuhkan barakah, berbeda dengan riba yang membuat harta sial.
b.      Islam dan Kerja
Bekerja merupakan perjuangan, kehormatan, dan usaha, bahkan juga ibadah. Sedangkan kemalasan merupakan kerugian dan dosa kepada Allah, Rasul-Nya, dan masyarakat.
c.       Menghindari Sifat Suap Menyuap dan Pemborosan Uang
Masyarakat yang banyak melakukan pemerasan, riba, suap menyuap dengan perbuatan curang, maka Allah tidak akan memberikan berkah, karena orang yang melakukan hal-hal tersebut ialah orang yang telah berpaling dari ketaatannya kepada Allah SWT.
d.      Mengubah Tata Kerja Bank dengan Menggunakan Prinsip Mudharabah
Bank-bank masa kini kebanyakan telah berjalan dengan sistem riba. Dan sebagai alternatifnya, maka tata kerja bank diubah menjadi menggunakan sistem mudharabah, yaitu seseorang memberi pinjaman kepada orang lain dengan syarat masing-masing memperoleh keuntungan.





BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan masalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Riba merupakan tambahan yang diberikan oleh pembeli (debitur) kepada penjual (kreditur) atas pinjaman pokoknya sebagai imbalan atas tempo pembayaran yang telat disyaratkan.
2.      Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang piutang (riba ad-duyun) dan riba jual beli (riba al buyu’). Riba utang piutang meliputi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan riba jual beli meliputi riba fadhl dan riba nasi’ah.
3.      Riba diharamkan secara bertahap hingga empat tingkatan. Hal ini ditujukan agar manusia bisa menerimanya dan mudah untuk meninggalkannya, diantaranya yaitu terdapat pada QS. Ar-Rum:30, Q.S An-Nisa: 160-161, Q.S Ali Imron: 130, dan Q.S Al-Baqarah: 278-280.
4.      Sebab larangan pada barang ribawi yaitu karena takaran atau timbangan. Setiap barang yang ditakar atau ditimbang yang diperjualbelikan dengan barang sejenis maka dianggap sebagai riba.
5.      Pinjaman ribawi terbagi menjadi tiga macam, diantaranya yaitu: Pinjaman yang diambil oleh orang-orang yang terdesak untuk menutupi kebutuhannya, pinjaman pemerintah dari luar negeri, dan pinjaman yang didapat oleh para pedagang, yang bersifat memeras.
6.      Adapun hikmah diharamkannya riba yaitu riba dapat mencegah kebaikan, menghilangkan sumber daya yang produktif, menghalangi manusia dari kesibukan bekerja, dll. Karena melakukan riba merupakan suatu pekerjaaan yang haram.
7.      Riba bisa dihindari dengan cara memperbanyak zakat, menggiatkan diri untuk bekerja keras, menghindari kasus suap menyuap, pemerasan, serta mengubah tata kerja bank dengan mengubah prinsip yang awalnya menggunakan sistem bunga, menjadi sistem mudharabah atau sistem bagi hasil dengan syarat sama-sama saling menguntungkan.




















DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Abu Sura’i Abdul. 1993. Bunga Bank dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Khoiruddin, Nasution. 1996. Riba dan Poligami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Qardhawi, Yusuf. 1993. Halal dan Haram dalam Islam. PT. Bina Ilmu
Al-Qardhawi, Yusuf. 2001. Bunga Bank Haram. Akbar Media Eka Sarana
Antonio, M. Syafi’. Bank Syariah Analisis kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman. 2006


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAIDAH NAHI (LARANGAN)

Kaidah Mujmal dan Kaidah Mubayyan

Kaidah Perintah Pengantar Ushul Fiqh