Ijarah dalam Lembaga Keuangan Syari'ah


1.1  PENGERTIAN IJARAH
Sewa menyewa atau dalam bahasa Arab ijarah berasal dari kata ‘ajara yang sinonimnya yaitu menyewakan, upah, atau pahala. Ali Fikri mengartikan ijarah menurut bahasa dengan yang artinya sewa-menyewa atau jual beli manfaat.
Sedangkan dalam pengertian istilah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1)      Menurut Hanafiah
Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.
2)      Menurut Malikiyah
Ijarah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.
3)      Menurut Syafi’iyah
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.
4)      Menurut Hanabilah
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya.
                        Dari definisi-definisi di atas dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip di antara para ulama dalam mengartikan ijarah atau sewa menyewa. Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa ijarah merupakan akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, objek sewa-menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang).

1.2  DASAR HUKUM IJARAH
Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang dibolehkan oleh syara’, kecuali beberapa ulama seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak membolehkan ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukannya akad, tidak bisa diserahterimakan. Setelah beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikit. Sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu akad tidak boleh diperjualbelikan. Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh Ibnu Rusyd, bahwa manfaat walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi pada galibnya ia (manfaat) akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta pertimbangan syara’.
Alasan Jumhur Ulama’ tentang dibolehkannya ijarah adalah:
1)        QS. Ath-Thalaq (65) ayat 6:
Artinya: Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.
2)        QS. Al-Qashash (28) ayat 26 dan 27:
Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”.
3)        Hadis Aisyah:
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra, istri Nabi berkata: Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari suku Bani ad-Dayl, penunjuk jalan yang mahir, dan ia masih memeluk agama orang kafir Quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Tsaur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada pagi hari Selasa. (HR. Al-Bukhari)
4)        Hadis Ibnu Abbas
Dari Ibnu Abbas ia berkata: Nabi berbekam dan beliau memberikan kepada tukang bekam itu upahnya. (HR. Al-Bukhari)
5)        Hadis Ibnu ‘Umar
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Berikanlah kepada tenaga kerja itu upahnya sebelum keringatnya mengering. (HR. Ibnu Majah)
Dari ayat-ayat Alquran dan beberapa hadis Nabi tersebut jelaslah bahwa akad ijarah atau sewa menyewa hukumnya dibolehkan, karena memang akad tersebut dibutuhkan oleh masyarakat.

1.3  RUKUN IJARAH
Menurut Hanafiah, rukun ijarah hanya satu, yaitu ijab dan qabul, yakni pernyataan dari orang yang yang menyewa dan menyewakan. Sedangkan menurut Jumhur Ulama’, rukun ijarah itu ada empat, yaitu:
1)      ‘aqid, yaitu mu’jir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang yang menyewa)
2)      Sighat, yaitu ijab dan qabul
3)      Ujrah (uang sewa atau upah)
4)      Manfaat, baik manfaat dari suatu barang yang disewa atau jasa dan tenaga dari orang yang bekerja.
Perbedaan pendapat mengenai rukun akad ini sudah banyak dibicarakan dalam akad-akad lain, seperti jual beli, dan lain-lain. Oleh karena itu, hal ini tidak perlu diperpanjang lagi.

1.4  SYARAT-SYARAT IJARAH
Seperti halnya dalam akad jual beli, syarat-syarat ijarah ini juga terdiri atas empat jenis persyaratan, yaitu:
1)      Syarat Terjadinya Akad (Syarat In’iqad)
Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad) berkaitan dengan ‘aqid, akad, dan objek akad. Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid adalah berakal, dan mumayyiz menurut Hanafiah, dan baligh menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Dengan demikian, akad ijarah tidak sah apabila pelakunya (mu’jir dan musta’jir) gila atau masih di bawah umur.

2)      Syarat Kelangsungan Akad (Nafadz)
Untuk kelangsungan (nafadz) akad ijarah disyaratkan terpenuhinya hak milik atau wilayah (kekuasaan). Apabila si pelaku (‘aqid) tidak mempunyai hak kepemilikan atau kekuasaan, seperti akad yang dilakukan oleh fudhuli, maka akadnya tidak bisa dilangsungkan, dan menurut Hanafiah dan Malikiyah statusnya mauquf  (ditangguhkan) menunggu persetujuan si pemilik barang. Akan tetapi, menurut Syafi’iyah dan Hanabilah hukumnya batal, seperti halnya jual beli.

3)      Syarat Sahnya Ijarah
Untuk sahnya ijarah harus dipenuhi beberapa syarat yang berkaitan dengan ‘aqid (pelaku), ma’qud alaih (objek), sewa atau upah (ujrah) dan akadnya sendiri. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Persetujuan kedua belah pihak, sama seperti dalam jual beli.
b.      Objek akad yaitu manfaat harus jelas, sehingga tidak menimbulkan perselisihan. Kejelasan tentang objek akad ijarah bisa dilakukan dengan menjelaskan:
v  Objek manfaat
Penjelasan objek manfaat bisa dengan mengetahui benda yang disewakan. Apabila seseorang mengatakan “Saya sewakan kepadamu salah satu dari rumah ini”, maka akad ijarah tidak sah, karena rumah yang mana yang akan disewakan belum jelas.
v  Masa manfaat
Penjelasan tentang masa manfaat diperlukan dalam kontrak rumah tinggal berapa bulan atau tahun, kios, atau kendaraan, misalnya berapa hari disewa.
v  Jenis pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang dam pekerja
Penjelasan ini diperlukan agar antara kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Misalnya pekerjaan membangun rumah sejak fondasi sampai terima kunci, dengan model yang tertuang dalam gambar. Atau pekerjaan menjahit baju jas lengkap dengan celana, dan ukurannya jelas.
c.       Objek akad ijarah harus dapat dipenuhi, baik menurut hakiki maupun syar’i.
d.      Manfaat yang menjadi objek akad harus manfaat yang dibolehkan oleh syara’. Misalnya menyewa buku untuk dibaca, dan menyewa rumah untuk temat tinggal.
e.       Pekerjaan yang dilakukan itu bukan fardhu dan bukan kewajiban orang yang disewa (ajir) sebelum dilakukannya ijarah.
f.       Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya untuk dirinya sendiri.
g.      Manfaat ma’qud ‘alaih harus sesuai dengan tujuan dilakukannya akad ijarah, yang biasa berlaku umum.
Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan upah (ujrah) adalah sebagai berikut:
a.       Upah harus berupa mal mutaqawwim yang diketahui.
Syarat ini disepakati oleh para ulama. Syarat mal mutaqawwim diperlukan dalam ijarah, karena upah merupakan harga atas manfaat, sama seperti harga barang dalam jual beli. Sedangkan syarat upah harus diketahui didasarkan pada hadis Nabi:
Dari Abi Sa’id bahwa sesungguhnya Nabi bersabda: Barangsiapa yang menyewa tenaga kerja, hendaklah ia menyebutkan baginya upahnya.
Kejelasan tentang upah kerja ini diperlukan untuk menghilangkan perselisihan antara kedua belah pihak. Penentuan upah atau sewa ini boleh didasarkan kepada urf atau adat kebiasaan. Misalnya, sewa (ongkos) kendaraan angkutan kita, bus, atau becak, yang sudah lazim berlaku, meskipun tanpa menyebutkannya, hukumnya sah.
b.      Upah atau sewa tidak boleh sama dengan jenis manfaat ma’qud ‘alaih.
Apabila upah atau sewa sama dengan jenis manfaat barang yang disewa, maka ijarah tidak sah. Misalnya menyewa rumah untuk tempat tinggal yang dibayar dengan tempat tinggal rumah si penyewa, menyewa kendaraan dengan kendaraan. Ini pendapat Hanafiah. Akan tetapi, Syafi’iyah tidak memasukkan syarat ini sebagai syarat untuk ujrah.

4)      Syarat Mengikatnya Akad Ijarah (Syarat Luzum)
Agar akad Ijarah itu mengikat, diperlukan dua syarat:
a.       Benda yang disewakan harus terhindar dari cacat (‘aib) yang menyebabkan terhalangnya pemanfaatan atas benda yang disewa itu.
b.      Tidak terdapat udzur (alasan) yang dapat membatalkan akad ijarah.
Hanafiah membagi udzur yang menyebabkan fasakh (batal) kepada tiga bagian, yaitu:
v  Udzur dari sisi musta’jir (penyewa)
Misalnya musta’jir pailit atau pindah domisili.
v  Udzur dari sisi mu’jir (orang yang menyewakan).
Misalnya mu’jir memiliki utang yang sangat banyak yang tidak ada jalan lain untuk membayarnya kecuali dengan menjual barang yang disewakan dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi utang tersebut.
v  Udzur yang berkaitan dengan barang yang disewakan atau sesuatu yang disewa.
Misalnya seseorang menyewa kamar mandi di suatu kampung untuk digunakannya selama waktu tertentu. Kemudian penduduk desa berpindah ke tempat lain. Dalam hal ini ia tidak perlu membayar sewa kepada mu’jir.

1.5  SIFAT IJARAH
Ijarah menurut Hanafiah adalah akad yang lazim, tetapi boleh di-fasakh apabila terdapat udzur, sebagaimana yang telah diuraikan sebelum ini. Sedangkan menurut Jumhur Ulama, ijarah adalah akad yang lazim (mengikat), yang tidak bisa di-fasakh kecuali dengan sebab-sebab yang jelas, seperti adanya ‘aib (cacat) atau hilangnya objek manfaat.
Sebagai kelanjutan dari perbedaan pendapat tersebut, Hanafiah berpendapat bahwa ijarah batal karena meninggalnya salah seorang pelaku akad. Hal itu karena apabila akad ijarah masih tetap, maka manfaat yang dimiliki oleh musta’jir atau uang sewa yang dimiliki oleh mu’jir berpindah kepada orang lain (ahli waris) yang tidak melakukan akad, dan hal ini tidak dibolehkan. Sedangkan menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, ijarah tidak batal karena meninggalnya salah satu pelaku akad, karena ijarah merupakan akad yang mengikat dan ajad mu’awadhah sehingga tidak bisa batal karena meninggalnya salah satu pihak, seperti jual beli.

1.6  MACAM-MACAM IJARAH
Ijarah ada dua macam:
1.      Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa. Dalam ijarah bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda.
2.      Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah. Dalam ijarah bagian kedua ini, objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang.

1)        Hukum Ijarah Atas Manfaat (Sewa-menyewa)
Akad sewa-menyewa dibolehkan atas manfaat yang mubah, seperti rumah untuk tempat tinggal, toko dan kios untuk tempat berdagang, dll. Adapun manfaat yang diharamkan maka tidak boleh disewakan, karena barangnya diharamkan. Dengan demikian, tidak boleh mengambil imbalan untuk manfaat yang diharamkan ini, seperti bangkai dan darah.
a.       Cara Menetapkan Hukum Akad Ijarah
Menurut Hanafiah dan Malikiyah, ketetapan hukum akad ijarah (sewa-menyewa) berlaku sedikit demi sedikit sesuai dengan timbulnya objek akad yaitu manfaat. Hal itu karena manfaat dari suatu benda yang disewa tidak bisa dipenuhi sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit. Akan tetapi, menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, ketetapan hukum akad ijarah (sewa-menyewa) itu berlaku secara kontan sehingga masa sewa dianggap seolah-olah seperti benda yang tampak.

b.      Cara Memanfaatkan Barang Sewaan
1)      Sewa rumah, toko dan semacamnya
Apabila seseorang menyewa rumah, toko atau kios, maka ia boleh memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya, baik dimanfaatkan sendiri, atau untuk orang lain, bahkan boleh disewakan lagi, atau dipinjamkan kepada orang lain. Hanya saja ia tidak boleh membebani dan merusak bangunan yang disewanya.

2)      Sewa tanah
Dalam sewa tanah, harus dijelaskan tujuannya, apakah untuk pertanian dan disebutkan pula jenis yang ditanamnya, seperti bayam, padi, jagung atau lainnya, bangunan bengkel, atau warung, dan sebagainya. Apabila tujuannya tidak dijelaskan, maka ijarah menjadi fasid. Hal ini karena manfaat dari tanah berbeda-beda, sesuai dengan peredaan bangunan, tanaman, dan jenisnya.

3)      Sewa kendaraan
Dalam sewa kendaraan, baik hewan maupun kendaraan lainnya, harus dijelaskan salah satu dari dua hal, yaitu waktu dan tempat. Demikian pula barang yang akan dibawa, dan benda atau orang yang akan diangkut harus dijelaskan, karena semuanya itu nantinya akan berpengaruh pada kondisi kendaraannya. Apabila hal itu tidak dijelaskan maka bisa menimbulkan perselisihan antara mu’jir dan musta’jir.

c.       Memperbaiki Barang Sewaan
Menurut Hanafiah, apabila barang yang disewa itu mengalami kerusakan, seperti pintu yang rusak, atau tembok yang roboh, maka yang berkewajiban memperbaikinya adalah pemiliknya, bukan penyewa. Hal ini karena barang yang disewa itu milik mu’jir. Hanya saja ia (mu’jir) tidak bisa dipaksa untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Apabila musta’jir melakukan perbaikan tanpa persetujuan mu’jir maka perbaikan tersebut dianggap sukarela, dan ia tidak bisa menuntut penggantian biaya perbaikan. Akan tetapi, apabila perbaikan tersebut atas permintan dan persetujuan mu’jir maka biaya perbaikan bisa diperhitungkan sebagai beban yang harus diganti oleh pemiliknya.

d.      Kewajiban Penyewa Setelah Selesainya Akad Ijarah
Apabila masa sewa telah habis, maka kewajiban penyewa adalah sebagai berikut:
1)      Penyewa harus menyerahkan kunci rumah atau toko kepada pemiliknya.
2)      Apabila yang disewa itu kendaraan, maka penyewa harus mengembalikan kendaraan yang telag disewanya ke tempat asalnya.

2)        Hukum Ijarah Atas Pekerjaan (Upah-mengupah)
Ijarah atas pekerjaan merupakan suatu akad ijarah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnya membangun rumah, mengangkut barang ke tempat tertentu, dan sebagainya. Orang yang melakukan pekerjaan disebut ajir atau tenaga kerja.
Ajir atau tenaga kerja ada dua macam:
a.      Ajir (tenaga kerja) khusus, yaitu orang yang bekerja pada satu orang untuk masa tertentu. Dalam hal ini ia tidak boleh bekerja untuk orang lain selain orang yang telah mempekerjakannya.
b.      Ajir (tenaga kerja) musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang, sehingga mereka bersekutu di dalam memanfaatkan tenaganya.

1.7  BERAKHIRNYA IJARAH
Akad ijarah dapat berakhir karena hal-hal berikut:
1)      Meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad.
Ini menurut pendapat Hanafiah. Sedangkan menurut Jumhur Ulama, kematian salah satu pihak tidak mengakibatkan fasakh atau berakhirnya akad ijarah. Hal tersebut dikarenakan ijarah merupakan akad yang lazim, seperti halnya jual beli, dimana musta’jir memiliki manfaat atas barang yang disewa dengan sekaligus sebagai hak milik yang tetap, sehingga bisa berpindah kepada ahli waris.
2)      Iqalah, yaitu pembatalan oleh kedua belah pihak.
Hal ini karena ijarah adalah akad mu’awadhah (tukar-menukar), harta dengan harta sehingga memungkinkan untuk dilakukan pembatalan.
3)      Rusaknya barang yang disewakan, sehingga ijarah tidak mungkin untuk diteruskan.
4)      Telah selesainya masa sewa, kecuali ada udzur.
Misalnya sewa tanah untuk ditanami, tetapi ketika masa sewa sudah habis, tanaman belum bisa dipanen. Dalam hal ini ijarah dianggap belum selesai.

1.8  IMPLEMENTASI  IJARAH DALAM PERBANKAN
a.         Jika diterapkan dalam perbankan Islam, maka bank Islam tindak selaku muajjir (pemberi sewa) dan nasabah selaku penyewa (mustakjir).
b.         Dalam praktik perbankan Islam tahapan ideal ijarah ialah:
1.         Nasabah menjelaskan kepada bank bahwa ia ingin menyewa suatu aset dan mampu membayar sewa secara periodik, misalnya per bulan.
2.         Setelah melakukan penelitian, bank setuju akan menyewa aset itu kepada nasabah.
3.         Bank membeli atau menyewa aset yang dibutuhkan nasabah.
4.         Bank membuat perjanjian ijarah dengan nasabah untuk jangka waktu tertentu dan menyerahkan aset itu untuk dimanfaatkan.
5.         Nasabah membayar sewa setiap bulan yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan.
6.         Bank melakukan penyusutan terhadap aset. Biaya penyusutan dibebankan kepada laporan laba rugi.
7.         Di akhir masa sewa, nasabah mengembalikan aset tersebut kepada bank.
c.         Sub-lease = ijarah muwazy
1.         Menyewakan barang kepada pihak ketiga, hukumnya dibolehkan, apabila pemilik barang mengizinkannya. Apabila pemilik aset tidak mengizinkannya, maka penyewaan kepada pihak ketiga tidak diperbolehkan.
2.         Sering kali nasabah membutuhkan kontrakan rumah atau rumah toko, atau gedung kantor, sedangkan mereka tidak mampu (tidak mau) membayar ujrah-nya di muka sekaligus, tetapi secara cicilan per bulan mereka mampu. Nasabah tersebut dapat menghubungi bank Islam untuk mendapatkan pembiayaan sewa rumah tersebut.
3.         Bank Islam dan BMT dapat menjadikan konsep ini sebagai produk. Caranya: Bank menyewa sebuat aset, kemudian menyewakannya kembali kepada nasabah secara cicilan. Prosesnya ialah: setelah negosiasi, bank Islam menyewa aset tersebut misalnya Rp 10 juta setahun. Selanjutnya, bank menyewakan kembali kepada nasabah Rp 1.000.000 per bulan. Dengan demikian, Bank mendapat margin sewa Rp 2 juta (20%).
d.        Ijarah Muntahia bit-Tamlik (IMBT), menurut jenisnya:
1.      IMBT melalui hibah atau hadiah di akhir masa sewa dengan memperhitungkan harga aset dan nilai total sewa dalam jangka waktu tertentu:
a)        ini diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar, sehingga, akumulasi sewa di akhir periode sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan marginlaba yang diharapkan bank. Dengan demikian, bank dapat “berjanji” (Janji bermakna kontrak, sehingga janji hibah tersebut bersifat mengikat) harus dilaksanakan. Pendapat ini sesuai dengan mazhab Maliki dan banyak ulama pada saat akad untuk menghibahkan barang tersebut diakhir masa periode sewa kepada penyewa.
b)        Dengan demikian, kepemilikan berpindah secara otomatis tanpa membuat kontrak baru sebagai mana dalam fatwa DSN-MUI dan tulisan Adiwarman. Juga (jelas) tanpa pembayaran tambahan di luar angsuran terakhir.
c)        Dalam IMBT ini klausul akad dapat diformulasikan sebagai berikut, “jika penyewa (pihak kedua) telah menyelesaikan pembayaran angsuran terakhir sewa aset tersebut, maka pihak pertama (muajjir) menghibahkan aset tersebut kepada pihak kedua (penyewa)”
d)       Hibah ini bersifat mu’allaq terhadap masa mustaqbal (akan datang). Hukumnya boleh menurut ketentuan fikih Islam. Demikian pula muallaq (ta’aluq dalam waktu) dalam jual beli. Misalnya, “Jika Anda telah menyelesaikan cicilan sewa pada masa tertentu, maka saya menjual barang ini kepada Anda”. Praktik ini dibenarkan menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim.

2.      IMBT melalui pemindahan kepemilikan di akhir masa sewa dengan cara membeli dengan harga yang sesuai dengan sisa cicilan sewa:
a)        Alternatif untuk menjual di akhir masa sewa biasanya digunakan bila kemampuan finansial mustakjir (penyewa) untuk membayar sewa terlalu kecil, sehingga akumulasi nilai sewa yang sudah dibayar di akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin keuntungan yang diharapkan bank. Maka jika penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang itu di akhir periode.
b)        Dalam kontrak ini, juga tidak perlu dilakukan kontrak baru di akhir masa sewa, cukup satu kali akad di awal kontrak.
c)        Dalam IMBT ini klausul akad dapat diformulasikan sebagai berikut, “Jika penyewa (pihak kedua) telah menyelesaikan pembayaran angsuran terakhir sewa aset tersebut di masa depan, maka pihak pertama (muajjir) akan menjual aset tersebut kepada pihak kedua (penyewa) seharga sekian”. Keduanya sepakat jumlah tentang cicilan sewa, masa penyewaan dan harga jual barang di akhir sewa.
d)       Jual beli ini bersifat mu’allaq (tergantung) terhadap masa mustaqbal (akan datang). Hukumnya boleh menurut ketentuan fikih Islam, sebagaimana dibolehkan Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim.

e)        Pada jual beli “muallaq bi al-zaman almustaqbal” ini tidak terdapat gharar sebagaimana yang disangkakan sebagian orang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAIDAH NAHI (LARANGAN)

Kaidah Mujmal dan Kaidah Mubayyan

Kaidah Perintah Pengantar Ushul Fiqh